Eragon (Bab 37)
28 November
2013 pukul 20:51
WARISAN
PENUNGGANG
Eragon,
bangun. Eragon bergerak dan mengerang.
Aku
membutuhkan bantuanmu. Ada yang tidak beres! Eragon mencoba mengabaikan suara
itu dan kembali tidur.
Bangun!
Pergi, gerutunya.
Eragon!
Lolongan itu menggetarkan gua. Eragon tersentak bangkit, tergesa-gesa mencari
busurnya. Saphira berjongkok di atas Brom, yang berguling turun dari langkan
dan menggelepar-gelepar di lantai gua. Wajahnya mengerut kesakitan; tinjunya
mengepal. Eragon bergegas mendekat, takut akan kemungkinan yang terburuk.
"Bantu
aku menahannya. Ia akan melukai dirinya sendiri!" jeritnya pada Murtagh,
sambil mencengkeram lengan Brom. Sisi tubuhnya bagai terbakar hebat sewaktu
pria tua itu tersentak-sentak. Bersama-sama mereka menahan Brom hingga ia
berhenti meronta-ronta. Lalu dengan hati-hati mereka mengembalikannya ke
langkan.
Eragon
menyentuh dahi Brom. Kulitnya begitu panas sehingga ia bisa merasakannya dari
jarak satu inci. "Ambilkan air dan kain," katanya khawatir. Murtagh
membawakannYa dan Eragon dengan lembut mengusap wajah Brom, mencoba menurunkan
demamnya. Sesudah gua tenang kembali, ia menyadari matahari yang bersinar di
luar. Sudah berapa lama kami tidur? tanyanya pada Saphira.
Cukup lama.
Aku yang mengawasi Brom hampir sepanjang waktu. Ia baik-baik saja hingga
semenit yang lalu sewaktu ia mulai meronta-ronta. kubangunkan dirimu begitu ia
jatuh ke lantai.
Eragon
menggeliat, mengernyit saat rusuknya terasa sakit.
Tiba-tiba
ada tangan mencengkeram bahunya. Mata Brom tersentak membuka dan terpaku
menatap Eragon, berkaca-kaca.
"Kau!"katanya
dengan napas tersentak. "Ambilkan anggurnya!"
"Brom!"
seru Eragon, senang mendengar Brom berbicara. Kau tidak boleh minum anggur, itu
hanya akan memperburuk kondisimu."
"Bawa
kemari, Nak, bawa saja kemari...," desah Brom. Tangannya merosot dari bahu
Eragon.
"Aku
akan segera kembali, tunggu." Eragon melesat ke tas pelana dan
mengaduk-aduk isinya dengan panik. "Aku tidak bisa menemukannya!"
jeritnya, memandang sekitarnya dengan putus asa.
"Ini,
ambil punyaku," kata Murtagh, sambil mengacungkan kantong kulit.
Eragon
menyambarnya dan kembali ke Brom. "Sudah kudapatkan anggurnya,"
katanya, sambil berlutut. Murtagh pergi ke mulut gua agar tidak mengganggu
mereka berdua.
Kata-kata
Brom selanjutnya samar dan tidak jelas. "Bagus..." Ia menggerakkan
lengannya dengan lemah. "Sekarang... cuci tangan kananku dengan anggur
itu."
"Apa"
Eragon hendak bertanya.
"Jangan
bertanya! Aku tidak ada waktu." Dengan tertegun, Eragon membuka tutup
kantong kulit itu dan menuangkan isinya ke telapak tangan Brom. Ia
menggosok-gosok kulit tangan Pria tua tersebut, meratakan anggurnya ke jemari
dan punggung tangan. Lagi," kata Brom dengan suara serak. Eragon
menyiramkan anggur lagi ke tangan Brom. Ia menggosoknya mati-matian sementara
warna cokelat terkelupas dari telapak tangan Brom, lalu berhenti, mulutnya
ternganga. Di telapak tangan Brom terdapat gedwey ignasia.
"Kau
Penunggang?" tanyanya tertegun.
Senyum sedih
merekah di wajah Brom. "Dulu memang benar.. tapi sekarang tidak lagi.
Sewaktu aku masih muda... lebih muda daripada dirimu sekarang, aku dipilih...
dipilih para Penunggang untuk bergabung dengan mereka. Sementara mereka melatih
diriku, aku berteman dengan Penunggang lain yang juga tengah belajar... Morzan,
sebelum ia menjadi anggota terkutuk." Eragon tersentak kejadian itu
berlangsung lebih dari seratus tahun yang lalu. "Tapi lalu ia mengkhianati
kami dan menyerahkan kami kepada Galbatorix... dan dalam pertempuran di Doru
Areaba-kota Vroengard-naga mudaku terbunuh. Namanya... Saphira."
"Kenapa
kau tidak memberitahukan hal ini padaku sejak dulu?" tanya Eragon
lembut.
Brom
tertawa. "Karena... tidak perlu." Ia terdiam. Napasnya berat; kedua
tangannya mengepal. "Aku sudah tua, Eragon.., sangat tua. Walaupun nagaku
terbunuh, hidupku masih lebih panjang daripada sebagian besar orang. Kau tidak
mengetahui bagaimana rasanya menjadi setua diriku, mengingat kembali, dan
menyadari banyak yang tidak bisa kau ingat; lalu kau memikirkan masa depan dan
mengetahui masih ada bertahun-tahun di depanmu.... Sesudah sekian lama aku
masih berduka atas kematian Saphira... dan membenci Galbatorix karena apa yang
dirampasnya dariku." Matanya yang bagai mata orang demam menatap tajam
Eragon sewaktu ia berkata mantap, "Jangan pernah membiarkan kejadian itu
terulang padamu. Jangan! Jaga Saphira dengan nyawamu, karena tanpa dirinya
kehidupan terasa tidak layak untuk dijalani."
"Kau
seharusnya jangan berbicara seperti ini. Tidak akan terjadi apa-apa pada
Saphira," kata Eragon, khawatir.
Brom
berpaling ke samping. "Mungkin aku mengigau." Tatapannya terarah ke
Murtagh, lalu terfokus kepada Eragon. Suara Brom terdengar lebih kuat.
"Eragon! Aku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Luka... luka yang parah
ini; luka ini mengisap kekuatanku. Aku tidak memiliki energi untuk
melawannya.... Sebelum aku pergi, maukah kau menerima restuku?"
"Segalanya
akan baik-baik saja," kata Eragon, air mata menggenang di matanya.
"Kau tidak perlu berbuat begini."
"Beginilah
yang seharusnya terjadi... harus. Kau mau menerima restuku?" Eragon
menunduk sambil mengangguk mengalah. Brom meletakkan tangannya yang gemetar di
alis Eragon.
"Kalau
begitu kuberikan restuku padamu. Semoga tahun-tahun mendatang membawa
kebahagiaan besar bagimu." Ia memberi isyarat kepada Eragon agar
membungkuk lebih dekat. Dengan sangat pelan, ia membisikkan tujuh kata dalam
bahasa kuno, lalu dengan suara yang bahkan lebih pelan lagi ia memberitahukan
artinya. "Hanya itu yang bisa kuberikan padamu....
Gunakan
kalau keadaan sangat mendesak."
Brom
mengalihkan pandangannya ke langit-langit. "Dan sekarang," gumamnya,
"demi petualangan yang terhebat..."
Sambil
terisak, Eragon memegang tangan Brom, menenangkannya sebisa mungkin. Do’anya
tidak goyah, tidak terputus oleh makanan atau minuman. Seiring berlalunya
jam-jam yang terasa panjang, warna kelabu mulai menyelimuti Brom, dan matanya
perlahan-lahan meredup. Tangannya berubah menjadi sedingin es; udara di
sekelilingnya terasa menyeramkan. Tidak berdaya untuk membantu, Eragon hanya
bisa mengawasi sementara luka Ra'zac beraksi.
Jam-jam
malam baru dimulai dan bayang-bayang masih panjang sewaktu Brom tiba-tiba
mengejang. Eragon memanggil namanya dan menjerit meminta bantuan Murtagh, tapi
tidak ada yang bisa mereka lakukan. Sementara kesunyian mengisi udara,
pandangan Brom terpaku ke mata Eragon. Lalu kepuasan menyebar di wajah pria tua
itu, dan embusan napas pelan terlontar dari sela bibirnya. Dan Brom si tukang
cerita pun meninggal dunia.
Dengan
jemari gemetar, Eragon menutup mata Brom dan berdiri. Saphira mengangkat kepala
di belakangnya dan meraung sedih ke langit, menyuarakan dukanya. Air mata
mengalir turun di pipi Eragon sementara perasaan kehilangan yang hebat
membanjiri dirinya. Dengan terpatah-patah, ia berkata, "Kita harus
memakamkannya."
"Kita
bisa kelihatan," Murtagh memperingatkan.
"Aku
tidak peduli!"
Murtagh
ragu-ragu, lalu memondong mayat Brom keluar dari gua bersama pedang dan
tongkatnya. Saphira mengikuti mereka. "Ke puncak," kata Eragon,
menunjuk puncak bukit batu pasir.
"Kita
tidak bisa menggali makam di batu," Murtagh memprotes.
"Aku
bisa."
Eragon
memanjat ke puncak bukit yang halus, bersusah payah karena rusuknya. Di sana
Murtagh membaringkan Brom di batu.
Eragon
mengusap mata dan memusatkan pandangan ke batu pasir. Sambil memberi isyarat
dengan tangan, ia berkata, "Moi stenr!" Batunya menggelombang.
Berombak seperti air, membentuk ceruk sepanjang tubuh manusia di puncak bukit.
Dengan membentuk batu pasir seperti tanah liat basah, ia membangun dinding
setinggi pinggang di sekeliling ceruk.
Mereka
membaringkan Brom di dalam makam batu pasir yang belum selesai itu bersama
tongkat dan pedangnya. Setelah melangkah mundur, Eragon kembali membentuk batu
dengan sihir. Batunya menyatu di atas wajah Brom yang tidak bergerak dan
mengalir ke atas membentuk batu nisan. Sebagai penghargaan terakhir, Eragon
menuliskan kata-kata di batunya:
DI SINI
BERBARING BROM
Yang di masa
hidupnya adalah Penunggang Naga
Dan bagai
ayah Bagiku.
Semoga
namanya abadi dalam kemegahan.
Lalu ia
menunduk dan menumpahkankedukaannya. Ia berdiri bagai patung hidup hingga
malam, sewaktu cahaya memudar dari kawasan itu. Malam itu ia kembali memimpikan
wanita yang dipenjara itu.
Ia bisa
melihat ada yang tidak beres dengan wanita tersebut. Napasnya tidak teratur,
dan ia gemetar entah karena kedinginan atau kesakitan, Eragon tidak
mengetahuinya. Dalam keremangan sel, satu-satunya yang kelihatan cukup jelas
adalah tangan wanita itu, yang terkulai melewati tepi ranjang. Cairan gelap
menetes dari ujung jemarinya. En mengetahui cairan itu adalah darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar