Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 37



Eragon (Bab 37)
28 November 2013 pukul 20:51
WARISAN PENUNGGANG
                  
Eragon, bangun. Eragon bergerak dan mengerang.
Aku membutuhkan bantuanmu. Ada yang tidak beres! Eragon mencoba mengabaikan suara itu dan kembali tidur.
Bangun! Pergi, gerutunya.
Eragon! Lolongan itu menggetarkan gua. Eragon tersentak bangkit, tergesa-gesa mencari busurnya. Saphira berjongkok di atas Brom, yang berguling turun dari langkan dan menggelepar-gelepar di lantai gua. Wajahnya mengerut kesakitan; tinjunya mengepal. Eragon bergegas mendekat, takut akan kemungkinan yang terburuk.
"Bantu aku menahannya. Ia akan melukai dirinya sendiri!" jeritnya pada Murtagh, sambil mencengkeram lengan Brom. Sisi tubuhnya bagai terbakar hebat sewaktu pria tua itu tersentak-sentak. Bersama-sama mereka menahan Brom hingga ia berhenti meronta-ronta. Lalu dengan hati-hati mereka mengembalikannya ke langkan.
Eragon menyentuh dahi Brom. Kulitnya begitu panas sehingga ia bisa merasakannya dari jarak satu inci. "Ambilkan air dan kain," katanya khawatir. Murtagh membawakannYa dan Eragon dengan lembut mengusap wajah Brom, mencoba menurunkan demamnya. Sesudah gua tenang kembali, ia menyadari matahari yang bersinar di luar. Sudah berapa lama kami tidur? tanyanya pada Saphira. 
Cukup lama. Aku yang mengawasi Brom hampir sepanjang waktu. Ia baik-baik saja hingga semenit yang lalu sewaktu ia mulai meronta-ronta. kubangunkan dirimu begitu ia jatuh ke lantai.
Eragon menggeliat, mengernyit saat rusuknya terasa sakit.
Tiba-tiba ada tangan mencengkeram bahunya. Mata Brom tersentak membuka dan terpaku menatap Eragon, berkaca-kaca.
"Kau!"katanya dengan napas tersentak. "Ambilkan anggurnya!"
"Brom!" seru Eragon, senang mendengar Brom berbicara. Kau tidak boleh minum anggur, itu hanya akan memperburuk kondisimu."
"Bawa kemari, Nak, bawa saja kemari...," desah Brom. Tangannya merosot dari bahu Eragon.
"Aku akan segera kembali, tunggu." Eragon melesat ke tas pelana dan mengaduk-aduk isinya dengan panik. "Aku tidak bisa menemukannya!" jeritnya, memandang sekitarnya dengan putus asa.
"Ini, ambil punyaku," kata Murtagh, sambil mengacungkan kantong kulit.
Eragon menyambarnya dan kembali ke Brom. "Sudah kudapatkan anggurnya," katanya, sambil berlutut. Murtagh pergi ke mulut gua agar tidak mengganggu mereka berdua.
Kata-kata Brom selanjutnya samar dan tidak jelas. "Bagus..." Ia menggerakkan lengannya dengan lemah. "Sekarang... cuci tangan kananku dengan anggur itu."
"Apa" Eragon hendak bertanya.
"Jangan bertanya! Aku tidak ada waktu." Dengan tertegun, Eragon membuka tutup kantong kulit itu dan menuangkan isinya ke telapak tangan Brom. Ia menggosok-gosok kulit tangan Pria tua tersebut, meratakan anggurnya ke jemari dan punggung tangan. Lagi," kata Brom dengan suara serak. Eragon menyiramkan anggur lagi ke tangan Brom. Ia menggosoknya mati-matian sementara warna cokelat terkelupas dari telapak tangan Brom, lalu berhenti, mulutnya ternganga. Di telapak tangan Brom terdapat gedwey ignasia.
"Kau Penunggang?" tanyanya tertegun.
Senyum sedih merekah di wajah Brom. "Dulu memang benar.. tapi sekarang tidak lagi. Sewaktu aku masih muda... lebih muda daripada dirimu sekarang, aku dipilih... dipilih para Penunggang untuk bergabung dengan mereka. Sementara mereka melatih diriku, aku berteman dengan Penunggang lain yang juga tengah belajar... Morzan, sebelum ia menjadi anggota terkutuk." Eragon tersentak kejadian itu berlangsung lebih dari seratus tahun yang lalu. "Tapi lalu ia mengkhianati kami dan menyerahkan kami kepada Galbatorix... dan dalam pertempuran di Doru Areaba-kota Vroengard-naga mudaku terbunuh. Namanya... Saphira."
"Kenapa kau tidak memberitahukan hal ini padaku sejak dulu?" tanya Eragon lembut. 
Brom tertawa. "Karena... tidak perlu." Ia terdiam. Napasnya berat; kedua tangannya mengepal. "Aku sudah tua, Eragon.., sangat tua. Walaupun nagaku terbunuh, hidupku masih lebih panjang daripada sebagian besar orang. Kau tidak mengetahui bagaimana rasanya menjadi setua diriku, mengingat kembali, dan menyadari banyak yang tidak bisa kau ingat; lalu kau memikirkan masa depan dan mengetahui masih ada bertahun-tahun di depanmu.... Sesudah sekian lama aku masih berduka atas kematian Saphira... dan membenci Galbatorix karena apa yang dirampasnya dariku." Matanya yang bagai mata orang demam menatap tajam Eragon sewaktu ia berkata mantap, "Jangan pernah membiarkan kejadian itu terulang padamu. Jangan! Jaga Saphira dengan nyawamu, karena tanpa dirinya kehidupan terasa tidak layak untuk dijalani."
"Kau seharusnya jangan berbicara seperti ini. Tidak akan terjadi apa-apa pada Saphira," kata Eragon, khawatir.
Brom berpaling ke samping. "Mungkin aku mengigau." Tatapannya terarah ke Murtagh, lalu terfokus kepada Eragon. Suara Brom terdengar lebih kuat. "Eragon! Aku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Luka... luka yang parah ini; luka ini mengisap kekuatanku. Aku tidak memiliki energi untuk melawannya.... Sebelum aku pergi, maukah kau menerima restuku?"
"Segalanya akan baik-baik saja," kata Eragon, air mata menggenang di matanya. "Kau tidak perlu berbuat begini."
"Beginilah yang seharusnya terjadi... harus. Kau mau menerima restuku?" Eragon menunduk sambil mengangguk mengalah. Brom meletakkan tangannya yang gemetar di alis Eragon. 
"Kalau begitu kuberikan restuku padamu. Semoga tahun-tahun mendatang membawa kebahagiaan besar bagimu." Ia memberi isyarat kepada Eragon agar membungkuk lebih dekat. Dengan sangat pelan, ia membisikkan tujuh kata dalam bahasa kuno, lalu dengan suara yang bahkan lebih pelan lagi ia memberitahukan artinya. "Hanya itu yang bisa kuberikan padamu....
Gunakan kalau keadaan sangat mendesak."
Brom mengalihkan pandangannya ke langit-langit. "Dan sekarang," gumamnya, "demi petualangan yang terhebat..."
Sambil terisak, Eragon memegang tangan Brom, menenangkannya sebisa mungkin. Do’anya tidak goyah, tidak terputus oleh makanan atau minuman. Seiring berlalunya jam-jam yang terasa panjang, warna kelabu mulai menyelimuti Brom, dan matanya perlahan-lahan meredup. Tangannya berubah menjadi sedingin es; udara di sekelilingnya terasa menyeramkan. Tidak berdaya untuk membantu, Eragon hanya bisa mengawasi sementara luka Ra'zac beraksi.
Jam-jam malam baru dimulai dan bayang-bayang masih panjang sewaktu Brom tiba-tiba mengejang. Eragon memanggil namanya dan menjerit meminta bantuan Murtagh, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Sementara kesunyian mengisi udara, pandangan Brom terpaku ke mata Eragon. Lalu kepuasan menyebar di wajah pria tua itu, dan embusan napas pelan terlontar dari sela bibirnya. Dan Brom si tukang cerita pun meninggal dunia.
Dengan jemari gemetar, Eragon menutup mata Brom dan berdiri. Saphira mengangkat kepala di belakangnya dan meraung sedih ke langit, menyuarakan dukanya. Air mata mengalir turun di pipi Eragon sementara perasaan kehilangan yang hebat membanjiri dirinya. Dengan terpatah-patah, ia berkata, "Kita harus memakamkannya."
"Kita bisa kelihatan," Murtagh memperingatkan.
"Aku tidak peduli!"
Murtagh ragu-ragu, lalu memondong mayat Brom keluar dari gua bersama pedang dan tongkatnya. Saphira mengikuti mereka. "Ke puncak," kata Eragon, menunjuk puncak bukit batu pasir.
"Kita tidak bisa menggali makam di batu," Murtagh memprotes.
"Aku bisa."
Eragon memanjat ke puncak bukit yang halus, bersusah payah karena rusuknya. Di sana Murtagh membaringkan Brom di batu.
Eragon mengusap mata dan memusatkan pandangan ke batu pasir. Sambil memberi isyarat dengan tangan, ia berkata, "Moi stenr!" Batunya menggelombang. Berombak seperti air, membentuk ceruk sepanjang tubuh manusia di puncak bukit. Dengan membentuk batu pasir seperti tanah liat basah, ia membangun dinding setinggi pinggang di sekeliling ceruk.
Mereka membaringkan Brom di dalam makam batu pasir yang belum selesai itu bersama tongkat dan pedangnya. Setelah melangkah mundur, Eragon kembali membentuk batu dengan sihir. Batunya menyatu di atas wajah Brom yang tidak bergerak dan mengalir ke atas membentuk batu nisan. Sebagai penghargaan terakhir, Eragon menuliskan kata-kata di batunya:
DI SINI BERBARING BROM
Yang di masa hidupnya adalah Penunggang Naga
Dan bagai ayah Bagiku.
Semoga namanya abadi dalam kemegahan.
Lalu ia menunduk dan menumpahkankedukaannya. Ia berdiri bagai patung hidup hingga malam, sewaktu cahaya memudar dari kawasan itu. Malam itu ia kembali memimpikan wanita yang dipenjara itu.
Ia bisa melihat ada yang tidak beres dengan wanita tersebut. Napasnya tidak teratur, dan ia gemetar entah karena kedinginan atau kesakitan, Eragon tidak mengetahuinya. Dalam keremangan sel, satu-satunya yang kelihatan cukup jelas adalah tangan wanita itu, yang terkulai melewati tepi ranjang. Cairan gelap menetes dari ujung jemarinya. En mengetahui cairan itu adalah darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar