Eragon (Bab 36)
28 November
2013 pukul 20:48
MURTAGH
Lama Eragon
hanya menyadari panas membakar di sisi tubuhnya. Setiap tarikan napas menimbulkan
kesakitan hebat. Rasanya seperti dirinya yang tertusuk, bukan Brom.
Kesadarannya tentang waktu kacau-balau; sulit untuk memastikan apakah sudah
berminggu-minggu berlalu atau hanya beberapa menit. Sewaktu kesadaran akhirnya
menguasai dirinya, ia membuka mata dan memandang api unggun beberapa kaki
jauhnya dengan penasaran. Kedua tangannya masih terikat, tapi kekuatan obat
biusnya pasti sudah memudar karena ia bisa berpikir jernih lagi. Saphira, kau
terluka?
Tidak, tapi
kau dan Bromterluka. Ia berjongkok di atas Eragon, sayap-sayapnya membuka di
kedua sisinya untuk melindungi.
Saphira,
bukan kau yang menyalakan api unggun itu, bukan? Dan kau tidak mungkin bisa
membebaskan diri dari rantai itu tanpa bantuan.
Ya. Kurasa
memang begitu. Eragon berjuang berlutut dan melihat seorang pemuda duduk di
seberang api unggun.
Orang asing
itu, mengenakan pakaian yang lusuh, memancarkan sikap tenang, yakin. Ia membawa
busur, di sampingnya terdapat pedang baja yang panjang. Tanduk putih yang
diikat dengan perak ada di pangkuannya, dan gagang pisau mencuat dari sepatu
botnya. Wajahnya yang serius dan matanya yang tajam dibingkai rambut cokelat
lebat. Ia tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua daripada Eragon dan mungkin
sekitar satu inci lebih jangkung. Di belakangnya ada seekor kuda perang kelabu
yang ditambatkan. Orang asing itu mengawasi Saphira
dengan
waspada.
"Kau
siapa?" tanya Eragon, sambil bernapas pendek-pendek.
Tangan pria
itu yang mencengkeram busur mengejang.
"Murtagh."
Suaranya pelan dan terkendali, tapi anehnya sangat emosional.
Eragon
menarik tangannya melewati kaki hingga sekarang berada di depannya. Ia
mengertakkan gigi saat sisi tubuhnya terasa kesakitan. Kenapa kau membantu
kami?"
"Kau
bukan satu-satunya musuh yang dimiliki Ra'zac. Aku melacak mereka."
"Kau
tahu siapa mereka?"
"Ya."
Eragon
memusatkan perhatian pada tali yang mengikat pergelangan tangannya dan
menjangkau kekuatan sihirnya. Ia ragu-ragu, menyadari pandangan Murtagh
padanya, lalu memutuskan hal itu tidak penting. "Jierda!" geramnya.
Tali-tali itu putus dari pergelangannya. Ia menggosok-gosok kedua tangannya
agar darah kembali mengalir lancar.
Murtagh
terkesiap. Eragon menguatkan diri dan mencoba bangkit, tapi tulang rusuknya
terasa sangat sakit. Ia jatuh kembali, tersentak dengan gigi terkatup. Murtagh
mencoba membantu, tapi Saphira menghentikannya dengan geraman. "Aku mau
membantumu sejak tadi, tapi nagamu tidak mengizinkan aku mendekatimu."
"Namanya
Saphira," kata Eragon tegang. Sekarang biarkan ia mendekat. Aku tidak bisa
melakukannya sendirian. Lagi pula, ia sudah menyelamatkan kita. Saphira kembali
menggeram, sambil melipat sayapnya dan mundur. Murtagh menatapnya tajam sambil
melangkah maju.
Ia memegang
lengan Eragon, dengan lembut menariknya bediri. Eragon berteriak dan pasti
jatuh kembali kalau tidak ada dukungan. Mereka melangkah ke api unggun tempat
Brom terbaring telentang. Bagaimana keadaannya?" tanya Eragon.
"Buruk,"
kata Murtagh, sambil menurunkan Eragon ke tanah. "Pisaunya masuk tepat di
sela-sela tulang rusuk. Kau bisa melihatnya sebentar lagi, tapi sebaiknya kita
periksa dulu, Ia memang parah kerusakan yang ditimbulkan Ra'zac padamu."
Ia membantu Eragon menanggalkan kemejanya, lalu bersiap. "Aduh!"
"Aduh,"
kata Eragon, menyetujui dengan lemah. Memar panjang di sisi kirinya. Kulitnya
yang memerah, bengkak pecah di beberapa tempat. Murtagh menempelkan tangan di
memar itu dan menekannya sedikit. Eragon berteriak, dan Saphira menggeram
memperingatkan.
Murtagh
melirik Saphira sambil mengambil selimut. "Kupikir ada beberapa tulang rusukmu
yang patah. Sulit memastikan tapi sedikitnya dua, mungkin lebih. Kau beruntung
tidak batuk darah." Ia merobek-robek selimut dan memerban dada Eragon.
Eragon
kembali mengenakan kemeja. "Ya... aku beruntung." Ia menghela napas
pendek, mendekati Brom, dan melihat Murtagh telah merobek sisi mantelnya untuk
memerban lukanya. Dengan jemari gemetar, Eragon membuka perban itu.
"Aku
tidak akan melakukan itu kalau aku jadi kau," Murtagh memperingatkan.
"Tanpa perban, ia akan terus mengucurkan darah hingga tewas."
Eragon
mengabaikan peringatan itu dan menanggalkan kain dari sisi tubuh Brom. Lukanya
pendek dan tipis, tidak sesuai dengan kedalamannya. Darah mengalir keluar dari
sana. Seperti yang diketahuinya sewaktu Garrow terluka, luka yang diakibatkan
Ra'zac lambat pulih.
Ia
menanggalkan sarung tangan sambil mati-matian mencari dalam benaknya kata-kata
penyembuhan yang pernah diajarkan Brom padanya. Bantu aku, Saphira, katanya.
Aku terlalu lemah untuk bisa melakukannya sendirian.
Saphira
berjongkok di sampingnya, pandangannya terpaku pada Brom. Aku di sini, Eragon.
Saat benaknya bergabung dengan benak Eragon, kekuatan baru memenuhi tubuh
Eragon Eragon mengerahkan kekuatan gabungan mereka dan memusatkannya pada
kata-katanya. Tangannya gemetar saat diangkat ke atas luka. "Waise
heill!" katanya. Telapak tangannya berpendar, dan kulit Brom menyatu
kembali, seakan tidak pernah pecah. Murtagh mengawasi seluruh proses.
Prosesnya
berlangsung cepat. Saat cuaca berubah gelap Eragon duduk, merasa muak. Kita
belum pernah berbuat begitu katanya.
Saphira
mengangguk. Bersama-sama kita bisa melontarkan mantra yang melebihi salah satu
dari kita.
Murtagh
memeriksa sisi tubuh Brom dan bertanya, "Apakah ia sudah pulih
sepenuhnya?"
"Aku
hanya bisa memuilihkan apa yang ada di permukaan. pengetahuanku tidak cukup
untuk menyembuhkan kerusakan apa pun di bagian dalam. Sekarang terserah
padanya. Aku sudah berusaha sebisaku." Eragon memejamkan mata sejenak,
kelelahan setengah mati. "Ke... kepalaku seperti melayang-layang di awan."
"Kau
mungkin perlu makan," kata Murtagh. "Akan kubuatkan sup.
Sementara
Murtagh menyiapkan makanan, Eragon merasa penasaran siapa orang asing itu
sebenarnya. Pedang dan busurnya yang terbaik, juga tanduknya. Entah ia pencuri
atau orang yang terbiasa dengan uang-dan uang yang sangat banyak. Kenapa ia
memburu Ra'zac? Apa yang mereka lakukan hingga ia menjadi musuh mereka? Aku
ingin tahu apakah ia bekerja untuk kaum Varden.
Murtagh
memberinya semangkuk kaldu. Eragon memakannya hingga habis dan bertanya,
"Sudah berapa lama sejak Ra'zac melarikan diri?"
"Beberapa
jam."
"Kita
harus pergi sebelum mereka kembali membawa pasukan tambahan."
"Kau
mungkin bisa bepergian," kata Murtagh, lalu memberi isyarat ke arah Brom,
"tapi ia tidak bisa. Kau tidak dapat langsung bangun dan berkuda sesudah
ditusuk di sela tulang rusuk."
Kalau kita
membuat tandu, bisakah kau membawa Brom dengan cakarmu sebagaimana yang kau
lakukan dengan Garrow" tanya Eragon pada Saphira.
Ya tapi akan
sulit untuk mendarat.
Selama masih
bisa dilakukan. Eragon berkata kepada Murtagh, "Saphira bisa membawanya,
tapi kita membutuhkan tandu. Kau bisa membuatnya? Aku tidak memiliki kekuatan
untuk itu."
"Tunggu
di sini." Murtagh meninggalkan kemah, pedangnya terhunus. Eragon
terhuyung-huyung ke tasnya dan mengambil busur dari tempat Ra'zac
melemparkannya. Ia memasang talinya menemukan tabung anak panahnya, lalu
mengambil Zar'roc, yang tergeletak tersembunyi di keremangan. Akhirnya, ia
mengambil selimut untuk tandu.
Murtagh
kembali dengan membawa dua pohon muda. Ia meletakkannya paralel di tanah, lalu
mengikatkan selimut di antara kedua tongkat itu. Sesudah ia mengikat Brom
dengan hati-hati di tandu darurat tersebut, Saphira mencengkeram pohon mudanya
dan dengan susah payah terbang. "Aku tidak pernah mengira akan melihat
pemandangan seperti itu," kata Murtagh, ada nada aneh dalam suaranya.
Sementara
Saphira menghilang di langit yang gelap, Eragon tertatih-tatih mendekati Cadoc
dan dengan susah payah naik ke pelananya. "Terima kasih untuk bantuanmu.
Sebaiknya kau pergi sekarang. Pergilah sejauh mungkin dari kami. Kau akan
terancam bahaya kalau Kekaisaran mendapati dirimu bersama kami. Kami tidak bisa
melindungi dirimu, dan aku tidak ingin melihat kau celaka karena kami."
"Ceramah
yang bagus," kata Murtagh, sambil memadamkan api, "tapi kau akan ke
mana? Apakah ada tempat di dekat sini di mana kau bisa beristirahat dengan
aman?"
"Tidak
ada," Eragon mengakui.
Mata Murtagh
berkilau sementara jemarinya mengelus tangkai pedang. "Kalau begitu,
kupikir sebaiknya kutemani kalian hingga terbebas dari bahaya. Aku tidak punya
tujuan lain yang lebih baik. Lagi pula, kalau aku tetap mendampingimu, aku
mungkin akan mendapat kesempatan menghabisi Ra'zac lebih cepat daripada kalau
sendirian Banyak hal menarik yang selalu terjadi di sekitar Penunggang."
Eragon ragu,
tidak yakin apakah ingin menerima bantuan dari orang yang sama sekali asing
ini. Tapi ia juga menyadari dengan perasaan tidak enak, bahwa ia terlalu lemah
untuk memaksakan diri. Kalau Murtagh ternyata tidak bisa dipercaya, toh Saphira
selalu bisa mengusirnya. "Ikutlah dengan kita kalau kau mau." Ia
mengangkat bahu.
Murtagh
mengangguk dan menunggangi kuda perang kelabunya. Eragon meraih kekang Snowfire
dan berderapan pergi menjauhi perkemahan, ke alam bebas. Bulan sabit memencarkan
cahaya suram, tapi ia mengetahui hal itu hanya akan mempermudah Ra'zac melacak
mereka.
Sekalipun
ingin menanyai Murtagh lebih jauh lagi, Eragon tetap membisu, menghemat
energinya untuk berkuda. Menjelang subuh Saphira berkata, Aku harus berhenti.
Sayap-sayapku kelelahan dan Brom perlu perawatan. Ada tempat yang baik untuk
menginap, sekitar dua mil lagi dari tempatmu sekarang.
Mereka
mendapati Saphira duduk di kaki jajaran bukit batu pasir yang melengkung keluar
dari tanah seperti bukit raksasa. Sisi-sisinya dipenuhi gua berbagai ukuran.
Tonjolan-tonjolan yang sama bertebaran di seluruh kawasan itu. Saphira tampak
merasa puas diri. Kutemukan gua yang tidak akan kelihatan dari darat. Cukup
besar untuk kita semua, termasuk kuda-kuda Ikuti aku. Ia berbalik dan mendaki
batu pasir, cakarnya yang tajam menancap ke bebatuan. Kuda-kuda mengalami
kesulitan, karena kuku-kuku mereka yang berladam tidak mampu mencengkeram batu
pasir. Eragon dan Murtagh terpaksa menarik dan mendorong hewan-hewan itu selama
nyaris satu jam sebelum mereka akhirnya berhasil mencapai gua.
Gua itu
panjangnya seratus kaki dan lebarnya lebih dari dua puluh kaki, tapi mulutnya
kecil hingga mereka akan terlindungi dari cuaca buruk dan para pemburu yang
mencari mereka. Kegelapan menelan ujung seberangnya, menempel di
dinding-dinding seperti lembaran wol hitam yang lembut.
"Mengesankan,"
kata Murtagh. "Akan kukumpulkan kayu untuk api unggun." Eragon
bergegas mendekati Brom. Saphira meletakkannya di langkan batu kecil di bagian
belakang gua. Eragon mencengkeram tangan Brom yang lemas dan dengan gelisah
mengamati wajahnya yang keriput. Sesudah beberapa menit, ia mendesah dan
melangkah ke api unggun yang dinyalakan Murtagh.
Mereka makan
dengan tergesa-gesa, lalu mencoba memberi Brom minum, tapi pria tua itu tidak
mau. Setelah gagal berusaha, mereka menghamparkan selimut dan tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar