Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 36



Eragon (Bab 36)
28 November 2013 pukul 20:48
MURTAGH

Lama Eragon hanya menyadari panas membakar di sisi tubuhnya. Setiap tarikan napas menimbulkan kesakitan hebat. Rasanya seperti dirinya yang tertusuk, bukan Brom. Kesadarannya tentang waktu kacau-balau; sulit untuk memastikan apakah sudah berminggu-minggu berlalu atau hanya beberapa menit. Sewaktu kesadaran akhirnya menguasai dirinya, ia membuka mata dan memandang api unggun beberapa kaki jauhnya dengan penasaran. Kedua tangannya masih terikat, tapi kekuatan obat biusnya pasti sudah memudar karena ia bisa berpikir jernih lagi. Saphira, kau terluka?
Tidak, tapi kau dan Bromterluka. Ia berjongkok di atas Eragon, sayap-sayapnya membuka di kedua sisinya untuk melindungi.
Saphira, bukan kau yang menyalakan api unggun itu, bukan? Dan kau tidak mungkin bisa membebaskan diri dari rantai itu tanpa bantuan. 
Ya. Kurasa memang begitu. Eragon berjuang berlutut dan melihat seorang pemuda duduk di seberang api unggun.
Orang asing itu, mengenakan pakaian yang lusuh, memancarkan sikap tenang, yakin. Ia membawa busur, di sampingnya terdapat pedang baja yang panjang. Tanduk putih yang diikat dengan perak ada di pangkuannya, dan gagang pisau mencuat dari sepatu botnya. Wajahnya yang serius dan matanya yang tajam dibingkai rambut cokelat lebat. Ia tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua daripada Eragon dan mungkin sekitar satu inci lebih jangkung. Di belakangnya ada seekor kuda perang kelabu yang ditambatkan. Orang asing itu mengawasi Saphira
dengan waspada.
"Kau siapa?" tanya Eragon, sambil bernapas pendek-pendek.
Tangan pria itu yang mencengkeram busur mengejang.
"Murtagh." Suaranya pelan dan terkendali, tapi anehnya sangat emosional.
Eragon menarik tangannya melewati kaki hingga sekarang berada di depannya. Ia mengertakkan gigi saat sisi tubuhnya terasa kesakitan. Kenapa kau membantu kami?"
"Kau bukan satu-satunya musuh yang dimiliki Ra'zac. Aku melacak mereka."
"Kau tahu siapa mereka?"
"Ya."
Eragon memusatkan perhatian pada tali yang mengikat pergelangan tangannya dan menjangkau kekuatan sihirnya. Ia ragu-ragu, menyadari pandangan Murtagh padanya, lalu memutuskan hal itu tidak penting. "Jierda!" geramnya. Tali-tali itu putus dari pergelangannya. Ia menggosok-gosok kedua tangannya agar darah kembali mengalir lancar.
Murtagh terkesiap. Eragon menguatkan diri dan mencoba bangkit, tapi tulang rusuknya terasa sangat sakit. Ia jatuh kembali, tersentak dengan gigi terkatup. Murtagh mencoba membantu, tapi Saphira menghentikannya dengan geraman. "Aku mau membantumu sejak tadi, tapi nagamu tidak mengizinkan aku mendekatimu."
"Namanya Saphira," kata Eragon tegang. Sekarang biarkan ia mendekat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Lagi pula, ia sudah menyelamatkan kita. Saphira kembali menggeram, sambil melipat sayapnya dan mundur. Murtagh menatapnya tajam sambil melangkah maju.
Ia memegang lengan Eragon, dengan lembut menariknya bediri. Eragon berteriak dan pasti jatuh kembali kalau tidak ada dukungan. Mereka melangkah ke api unggun tempat Brom terbaring telentang. Bagaimana keadaannya?" tanya Eragon.
"Buruk," kata Murtagh, sambil menurunkan Eragon ke tanah. "Pisaunya masuk tepat di sela-sela tulang rusuk. Kau bisa melihatnya sebentar lagi, tapi sebaiknya kita periksa dulu, Ia memang parah kerusakan yang ditimbulkan Ra'zac padamu." Ia membantu Eragon menanggalkan kemejanya, lalu bersiap. "Aduh!"
"Aduh," kata Eragon, menyetujui dengan lemah. Memar panjang di sisi kirinya. Kulitnya yang memerah, bengkak pecah di beberapa tempat. Murtagh menempelkan tangan di memar itu dan menekannya sedikit. Eragon berteriak, dan Saphira menggeram memperingatkan.
Murtagh melirik Saphira sambil mengambil selimut. "Kupikir ada beberapa tulang rusukmu yang patah. Sulit memastikan tapi sedikitnya dua, mungkin lebih. Kau beruntung tidak batuk darah." Ia merobek-robek selimut dan memerban dada Eragon.
Eragon kembali mengenakan kemeja. "Ya... aku beruntung." Ia menghela napas pendek, mendekati Brom, dan melihat Murtagh telah merobek sisi mantelnya untuk memerban lukanya. Dengan jemari gemetar, Eragon membuka perban itu.
"Aku tidak akan melakukan itu kalau aku jadi kau," Murtagh memperingatkan. "Tanpa perban, ia akan terus mengucurkan darah hingga tewas."
Eragon mengabaikan peringatan itu dan menanggalkan kain dari sisi tubuh Brom. Lukanya pendek dan tipis, tidak sesuai dengan kedalamannya. Darah mengalir keluar dari sana. Seperti yang diketahuinya sewaktu Garrow terluka, luka yang diakibatkan Ra'zac lambat pulih.
Ia menanggalkan sarung tangan sambil mati-matian mencari dalam benaknya kata-kata penyembuhan yang pernah diajarkan Brom padanya. Bantu aku, Saphira, katanya. Aku terlalu lemah untuk bisa melakukannya sendirian.
Saphira berjongkok di sampingnya, pandangannya terpaku pada Brom. Aku di sini, Eragon. Saat benaknya bergabung dengan benak Eragon, kekuatan baru memenuhi tubuh Eragon Eragon mengerahkan kekuatan gabungan mereka dan memusatkannya pada kata-katanya. Tangannya gemetar saat diangkat ke atas luka. "Waise heill!" katanya. Telapak tangannya berpendar, dan kulit Brom menyatu kembali, seakan tidak pernah pecah. Murtagh mengawasi seluruh proses. 
Prosesnya berlangsung cepat. Saat cuaca berubah gelap Eragon duduk, merasa muak. Kita belum pernah berbuat begitu katanya.
Saphira mengangguk. Bersama-sama kita bisa melontarkan mantra yang melebihi salah satu dari kita.
Murtagh memeriksa sisi tubuh Brom dan bertanya, "Apakah ia sudah pulih sepenuhnya?"
"Aku hanya bisa memuilihkan apa yang ada di permukaan. pengetahuanku tidak cukup untuk menyembuhkan kerusakan apa pun di bagian dalam. Sekarang terserah padanya. Aku sudah berusaha sebisaku." Eragon memejamkan mata sejenak, kelelahan setengah mati. "Ke... kepalaku seperti melayang-layang di awan."
"Kau mungkin perlu makan," kata Murtagh. "Akan kubuatkan sup. 
Sementara Murtagh menyiapkan makanan, Eragon merasa penasaran siapa orang asing itu sebenarnya. Pedang dan busurnya yang terbaik, juga tanduknya. Entah ia pencuri atau orang yang terbiasa dengan uang-dan uang yang sangat banyak. Kenapa ia memburu Ra'zac? Apa yang mereka lakukan hingga ia menjadi musuh mereka? Aku ingin tahu apakah ia bekerja untuk kaum Varden.
Murtagh memberinya semangkuk kaldu. Eragon memakannya hingga habis dan bertanya, "Sudah berapa lama sejak Ra'zac melarikan diri?"
"Beberapa jam."
"Kita harus pergi sebelum mereka kembali membawa pasukan tambahan."
"Kau mungkin bisa bepergian," kata Murtagh, lalu memberi isyarat ke arah Brom, "tapi ia tidak bisa. Kau tidak dapat langsung bangun dan berkuda sesudah ditusuk di sela tulang rusuk."
Kalau kita membuat tandu, bisakah kau membawa Brom dengan cakarmu sebagaimana yang kau lakukan dengan Garrow" tanya Eragon pada Saphira.
Ya tapi akan sulit untuk mendarat.
Selama masih bisa dilakukan. Eragon berkata kepada Murtagh, "Saphira bisa membawanya, tapi kita membutuhkan tandu. Kau bisa membuatnya? Aku tidak memiliki kekuatan untuk itu."
"Tunggu di sini." Murtagh meninggalkan kemah, pedangnya terhunus. Eragon terhuyung-huyung ke tasnya dan mengambil busur dari tempat Ra'zac melemparkannya. Ia memasang talinya menemukan tabung anak panahnya, lalu mengambil Zar'roc, yang tergeletak tersembunyi di keremangan. Akhirnya, ia mengambil selimut untuk tandu.
Murtagh kembali dengan membawa dua pohon muda. Ia meletakkannya paralel di tanah, lalu mengikatkan selimut di antara kedua tongkat itu. Sesudah ia mengikat Brom dengan hati-hati di tandu darurat tersebut, Saphira mencengkeram pohon mudanya dan dengan susah payah terbang. "Aku tidak pernah mengira akan melihat pemandangan seperti itu," kata Murtagh, ada nada aneh dalam suaranya.
Sementara Saphira menghilang di langit yang gelap, Eragon tertatih-tatih mendekati Cadoc dan dengan susah payah naik ke pelananya. "Terima kasih untuk bantuanmu. Sebaiknya kau pergi sekarang. Pergilah sejauh mungkin dari kami. Kau akan terancam bahaya kalau Kekaisaran mendapati dirimu bersama kami. Kami tidak bisa melindungi dirimu, dan aku tidak ingin melihat kau celaka karena kami."
"Ceramah yang bagus," kata Murtagh, sambil memadamkan api, "tapi kau akan ke mana? Apakah ada tempat di dekat sini di mana kau bisa beristirahat dengan aman?"
"Tidak ada," Eragon mengakui.
Mata Murtagh berkilau sementara jemarinya mengelus tangkai pedang. "Kalau begitu, kupikir sebaiknya kutemani kalian hingga terbebas dari bahaya. Aku tidak punya tujuan lain yang lebih baik. Lagi pula, kalau aku tetap mendampingimu, aku mungkin akan mendapat kesempatan menghabisi Ra'zac lebih cepat daripada kalau sendirian Banyak hal menarik yang selalu terjadi di sekitar Penunggang."
Eragon ragu, tidak yakin apakah ingin menerima bantuan dari orang yang sama sekali asing ini. Tapi ia juga menyadari dengan perasaan tidak enak, bahwa ia terlalu lemah untuk memaksakan diri. Kalau Murtagh ternyata tidak bisa dipercaya, toh Saphira selalu bisa mengusirnya. "Ikutlah dengan kita kalau kau mau." Ia mengangkat bahu.
Murtagh mengangguk dan menunggangi kuda perang kelabunya. Eragon meraih kekang Snowfire dan berderapan pergi menjauhi perkemahan, ke alam bebas. Bulan sabit memencarkan cahaya suram, tapi ia mengetahui hal itu hanya akan mempermudah Ra'zac melacak mereka.
Sekalipun ingin menanyai Murtagh lebih jauh lagi, Eragon tetap membisu, menghemat energinya untuk berkuda. Menjelang subuh Saphira berkata, Aku harus berhenti. Sayap-sayapku kelelahan dan Brom perlu perawatan. Ada tempat yang baik untuk menginap, sekitar dua mil lagi dari tempatmu sekarang. 
Mereka mendapati Saphira duduk di kaki jajaran bukit batu pasir yang melengkung keluar dari tanah seperti bukit raksasa. Sisi-sisinya dipenuhi gua berbagai ukuran. Tonjolan-tonjolan yang sama bertebaran di seluruh kawasan itu. Saphira tampak merasa puas diri. Kutemukan gua yang tidak akan kelihatan dari darat. Cukup besar untuk kita semua, termasuk kuda-kuda Ikuti aku. Ia berbalik dan mendaki batu pasir, cakarnya yang tajam menancap ke bebatuan. Kuda-kuda mengalami kesulitan, karena kuku-kuku mereka yang berladam tidak mampu mencengkeram batu pasir. Eragon dan Murtagh terpaksa menarik dan mendorong hewan-hewan itu selama nyaris satu jam sebelum mereka akhirnya berhasil mencapai gua.
Gua itu panjangnya seratus kaki dan lebarnya lebih dari dua puluh kaki, tapi mulutnya kecil hingga mereka akan terlindungi dari cuaca buruk dan para pemburu yang mencari mereka. Kegelapan menelan ujung seberangnya, menempel di dinding-dinding seperti lembaran wol hitam yang lembut.
"Mengesankan," kata Murtagh. "Akan kukumpulkan kayu untuk api unggun." Eragon bergegas mendekati Brom. Saphira meletakkannya di langkan batu kecil di bagian belakang gua. Eragon mencengkeram tangan Brom yang lemas dan dengan gelisah mengamati wajahnya yang keriput. Sesudah beberapa menit, ia mendesah dan melangkah ke api unggun yang dinyalakan Murtagh.
Mereka makan dengan tergesa-gesa, lalu mencoba memberi Brom minum, tapi pria tua itu tidak mau. Setelah gagal berusaha, mereka menghamparkan selimut dan tidur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar