Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 29



Eragon (Bab 29)
27 November 2013 pukul 20:35
KESALAHAN YANG FATAL

Di pagi harinya Eragon dan Brom mengambil tas-tas pelana mereka dari istal dan bersiap-siap berangkat. Jeod menyapa Brom sementara Helen mengawasi dari ambang pintu. Dengan ekspresi muram, kedua pria itu berjabatan tangan. "Aku akan merindukanmu, pak tua," kata Jeod.
"Dan aku akan merindukanmu," kata Brom berat. Ia membungkukkan kepalanya yang berambut putih dan berpaling pada Helen. "Terima kasih untuk keramahanmu; kau sangat baik." Wajah Helen memerah. Eragon mengira Helen akan menampar Brom. Brom melanjutkan, sama sekali tidak terusik, "Kau memiliki suami yang baik; jaga dirinya baik-baik. Hanya sedikit pria yang seberani dan setegas dirinya. Tapi bahkan ia tidak bisa mengatasi masa-masa sulit tanpa dukungan dari orang yang dicintainya. Ia kembali membungkuk dan berkata lembut, "Hanya sekadar saran, nyonya yang baik.
Eragon mengawasi ekspresi tersinggung dan keras kepala melintas di wajah Helen. Mata Helen berkilau menyambar saat ia menutup pintu dengan kasar. Sambil mendesah, Jeod menyisir rambut dengan jemarinya. Eragon mengucapkan terima kasih untuk semua bantuannya, lalu naik ke punggung Cadoc. Sesudah mengucapkan selamat berpisah, ia dan Brom berlalu.
Di gerbang selatan Teirm, para penjaga membiarkan mereka lewat tanpa melirik sedikit pun. Sewaktu mereka berkuda bawah dinding luar yang sangat tinggi, Eragon melihat gerakan di keremangan. Solembum duduk di tanah, ekornya bergerak-gerak. Kucing jadi-jadian itu mengikuti mereka dengan pandangannya yang tidak bisa dibaca. Sewaktu kota mengecil di kejauhan, Eragon bertanya, "Kucing jadi-jadian itu apa?"
Brom tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. "Kenapa kau tiba-tiba tertarik?"
"Aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan orang di Teirm.
Kucing jadi-jadian tidak ada, bukan?" Eragon bertanya, pura-pura bodoh.
"Mereka cukup nyata. Selama tahun-tahun kejayaan para Penunggang, kucing jadi-jadian sama terkenalnya seperti naga. Raja dan elf memelihara mereka sebagai pendamping tapi kucing jadi-jadian bebas untuk melakukan apa saja sesuka hati mereka. Sangat sedikit yang pernah diketahui tentang mereka. Aku khawatir ras mereka telah langka akhir-akhir ini."
"Mereka bisa menggunakan sihir?" tanya Eragon.
"Tidak ada yang tahu pasti, tapi mereka jelas bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak biasa. Mereka tampaknya selalu mengetahui apa yang terjadi dan entah dengan cara bagaimana berhasil melibatkan diri." Brom menaikkan kerudungnya untuk menghalangi angin yang dingin menusuk.
"Helgrind itu apa?" tanya Eragon, sesudah berpikir sejenak.
"Kau akan melihatnya sendiri sesudah kita tiba di DrasLeona.
Sewaktu Teirm tidak terlihat lagi, Eragon menjangkau dengan Pikirannya dan memanggil, Saphira! Kekuatan teriakan mentalnya begitu kuat hingga Cadoc menjentikkan telinganya karena Jengkel.
Saphira menjawab dan melesat ke arah mereka dengan segenap kekuatannya. Eragon dan Brom mengawasi sementara sesosok gelap melesat dari awan, lalu mendengar raungan teredam saat sayap-sayap Saphira terbentang membuka. Matahari bersinar di balik membran tipisnya, mengubahnya menjadi tembus pandang dan memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah yang gelap. Saphira mendarat diiringi semburan angin.
Eragon melemparkan kekang Cadoc kepada Brom. "Akan kutemui kau makan siang nanti."
Brom mengangguk, tapi tampaknya sibuk berpikir. "Bersenang-senanglah," katanya, lalu memandang Saphira dan tersenyum melihatmu lagi." Kau juga.
Eragon melompat ke bahu Saphira dan berpegangan erat-erat sementara ia membubung. Dengan angin di ekornya Saphira menerobos udara. Pegangan, katanya memperingatkan Eragon, dan sambil menggeram liar, ia membubung membentuk lingkaran besar. Eragon berteriak gembira sambil membentangkan tangan di udara, berpegangan hanya dengan kaki.
Tak kusangka aku bisa tetap berada di punggungmu sementara kau berbuat begitu tanpa mengikatkan diri ke pelana lebih dulu, kata Eragon, sambil tersenyum lebar.
Aku juga tidak menyangka, Saphira mengakui, tertawa dengan caranya yang aneh. Eragon memeluknya erat-erat, dan mereka terbang lurus, para penguasa langit.
Pada tengah hari kaki Eragon terasa sakit karena menunggang Saphira tanpa pelana. Tangan serta wajahnya mati rasa karena udara dingin. Sisik-sisik Saphira selalu terasa hangat kalau disentuh, tapi ia tidak bisa mencegah Eragon kedinginan. Sewaktu mereka mendarat untuk makan siang, Eragon membenamkan kedua tangan ke balik pakaian dan mencari tempat duduk yang hangat dan disinari matahari. Sementara ia dan Brom makan, Eragon bertanya pada Saphira, Kau keberatan kalau aku menunggang Cadoc? Ia memutuskan akan menanyai Brom lebih jauh tentang masa lalunya.
Tidak, tapi beritahu aku apa yang dikatakannya. Eragon tidak terkejut Saphira mengetahui rencananya. Nyaris mustahil menyembunyikan apa pun dari Saphira karena mereka berhubungan secara mental. Sesudah mereka selesai makan, Saphira terbang pergi sementara Eragon menggabungkan diri dengan Brom di jalan setapak. Setelah beberapa waktu, Eragon memperlambat Cadoc dan berkata, "Ada yang perlu kubicarakan denganmu. Aku ingin melakukannya sewaktu kita pertama kali tiba di Teirm, tapi kuputuskan untuk menunggu hingga sekarang."
"Mengenai apa?" tanya Brom.
Eragon diam sejenak. "Ada banyak kejadian yang tidak kupahami. Misalnya, siapa 'teman-temanmu', dan kenapa kau bersembunyi di Carvahall. Aku mempercayakan hidupku padamu, itu sebabnya aku masih bepergian bersamamu aku perlu mengetahui lebih banyak tentang siapa dirimu apa yang kaulakukan. Apa yang kau curi di Gil'ead dulu dan apa tuatha du orothrim yang harus kujalani itu? Kupikir semua yang terjadi, aku layak mendapat penjelasan."
"Kau menguping pembicaraan kami."
"Hanya sekali," kata Eragon.
"Kulihat kau masih juga belum belajar bersikap sopan," kata Brom muram, sambil menarik-narik janggut. "Apa yang membuatmu berpikir hal itu ada kaitannya denganmu?"
"Tidak ada, sebenarnya," kata Eragon sambil mengangkat bahu, "Hanya saja fakta bahwa kau bersembunyi di Carvahall sewaktu aku menemukan telur Saphira, dan bahwa kau juga mengetahui begitu banyak hal mengenai naga, menurutku merupakan kebetulan yang aneh. Semakin kupikirkan, semakin kecil kemungkinan bahwa kejadian-kejadian itu hanya kebetulan. Ada petunjuk-petunjuk lain yang selama ini kuabaikan, tapi sekarang terasa jelas kalau kupikirkan kembali. Seperti bagaimana kau bisa mengetahui tentang Ra'zac dan kenapa mereka melarikan diri sewaktu kau mendekat. Dan aku tidak bisa tidak merasa penasaran tentang apakah kau ada kaitannya dengan kemunculan telur Saphira. Banyak yang belum kauceritakan pada kami, dan Saphira serta diriku tidak lagi bisa mengabaikan apa pun yang mungkin berbahaya."
Kerut-kerut muram muncul di kening Brom sementara ia menarik kekang Snowfire dan menghentikan hewan itu. "Kau tidak mau menunggu?" tanyanya. Eragon menggeleng keras kepala. Brom mendesah. "Ini tidak akan menjadi masalah kalau kau tidak securiga itu, tapi kurasa kau tak akan layak mendapat waktuku kalau tidak begitu." Eragon tidak yakin apakah harus menganggap kata-kata tersebut sebagai pujian atau sebaliknya. Brom menyulut pipa dan perlahan-lahan mengembuskan asapnya ke udara. "Akan kujawab pertanyaanmu," katanya, "tapi kau harus mengerti bahwa aku tidak bisa memberitahukan semuanya." Eragon hendak memprotes tapi
Brom memotongnya. "Bukan karena aku ingin merahasiakan, tapi karena aku tidak akan mengungkapkan rahasia yang bukan rahasiaku. Ada cerita-cerita lain yang terjalin dalam kisah ini. Kau harus berbicara dengan orang-orang lain yang terlibat untuk mengetahui bagian lain cerita."
Baiklah. Jelaskan sebisamu," kata Eragon. 
"Kau yakin?" tanya Brom. "Ada beberapa alasan kenapa aku merahasiakannya. Aku berusaha melindungimu dengan menghalangi kekuatan-kekuatan yang akan mencabik-cabik dirimu. Begitu kau mengetahui tentang mereka dan tujuan mereka kau tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan tenang. Kau akan terpaksa memilih akan berpihak ke mana dan mempertahankannya. Kau benar-benar ingin tahu?"
"Aku tidak bisa menjalani hidupku tanpa mengetahui apa-apa," kata Eragon dengan suara pelan.
"Tujuan yang layak.... Baiklah: ada perang yang berlangsung di Alagaesia antara Varden dan Kekaisaran. Tapi konflik mereka melebihi sekadar adu senjata yang tanpa sengaja. Mereka terkunci dalam perebutan kekuasaan luar biasa besar... yang berpusat pada dirimu."
"Aku?" kata Eragon, dengan nada tidak percaya. "Itu mustahil. Aku tidak ada kaitannya dengan satu pun dari mereka."
"Belum," kata Brom, "tapi keberadaanmulah yang menjadi fokus pertempuran mereka. Varden dan Kekaisaran bukan memperebutkan kendali atas tanah ini atau atas rakyatnya. Tujuan mereka adalah mengendalikan para Penunggang generasi berikut, dan kau adalah yang pertama. Siapa pun yang mengendalikan para Penunggang ini tak ragu lagi akan menjadi penguasa Alagaesia."
Eragon mencoba memahami pernyataan Brom. Rasanya sulit memahami bahwa begitu banyak orang tertarik pada dirinya dan Saphira. Tidak seorang pun selain Brom yang pernah menganggap dirinya penting. Seluruh konsep bahwa Kekaisaran dan Varden bertempur memperebutkan dirinya terlalu abstrak untuk bisa dipahaminya sepenuhnya. Berbagai keberatan dengan cepat terbentuk dalam benaknya. "Tapi semua Penunggang terbunuh, 'kecuali kaum Terkutuk yang bergabung dengan Galbatorix. Sepanjang sepengetahuanku, bahkan mereka pun sekarang tewas. Dan di Carvahall kau memberitahuku tidak seorang pun mengetahui apakah masih ada naga di Alagaesia atau tidak."
"Aku berbohong mengenai naganya," kata Brom terus terang. "Sekalipun para Penunggang sudah habis, masih ada tiga telur naga yang tersisa dan semuanya dikuasai Galbatorix. Sebenarnya. sekarang hanya ada dua, karena Saphira telah menetas. Raja menyelamatkan ketiganya dalam pertempuran besar terakhir melawan para Penunggang."
"Jadi mungkin tidak lama lagi akan ada dua Penunggang
keduanya setia pada Raja?" tanya Eragon muram.
"Tepat sekali," kata Brom. "Sekarang sedang berlangsung perlombaan yang mematikan. Galbatorix mati-matian berusaha menemukan orang-orang untuk siapa telur-telurnya akan menetas, sementara Varden menggunakan segala cara untuk membunuh para kandidat Galbatorix atau mencuri telur-telur itu."
"Tapi dari mana asal telur Saphira? Bagaimana bisa ada
yang mencurinya dari Raja? Dan kenapa kau mengetahui semua?" tanya Eragon, kebingungan.
"Begitu banyak pertanyaan," kata Brom, sambil tertawa pahit. "Ada bab lain untuk semua ini, bab yang terjadi lama sebelum kau dilahirkan. Sewaktu aku masih agak lebih muda, meskipun mungkin tidak lebih bijaksana. Aku membenci Kekaisaran untuk alasan-alasan yang akan kusimpan sendiri dan ingin merusaknya dengan cara apa pun sebisaku. Usahaku membawaku bertemu seorang pelajar, Jeod, yang mengaku menemukan buku yang menunjukkan jalan masuk rahasia ke istana Galbatorix. Dengan penuh semangat kubawa Jeod ke Varden yang adalah teman-temanku' dan mereka mengatur usaha pencurian telur itu."
Varden! "Tapi, ada yang tidak beres, dan pencuri kami hanya berhasil mendapat satu telur. Entah kenapa ia melarikan diri membawa telur itu dan tidak kembali pada Varden. Sewaktu ia tidak ditemukan, Jeod dan aku dikirim untuk membawanya kembali bersama telurnya." Pandangan Brom menerawang, dan ia berbicara dengan nada yang aneh. "Itulah awal salah satu pencarian terbesar sepanjang sejarah. Kami berlomba menghadapi Ra'zac dan Morzan, Penunggang Terkutuk terakhir dan pelayan terbaik Raja."
"Morzan!" seta Eragon. "Tapi ia yang mengkhianati para Penunggang pada Galbatorix!" Dan itu sudah lama sekali terjadi! Morzan pasti sudah sangat tua. Ia merasa gundah karena diingatkan berapa lama Penunggang bisa hidup.
Lalu?" tanya Brom, sambil mengangkat alis. "Ya, ia sudah tua tapi kuat dan kejam. Ia salah seorang pengikut pertama Raja dan sejauh ini yang paling setia. Karena ada perselisihan di antara kami sebelumnya, perburuan atas telur itu berubah menjadi pertempuran pribadi. Sewaktu telurnya ditemukan di Gil'ead, aku bergegas ke sana dan bertempur melawan Morzan untuk memperolehnya. Kontes yang mengerikan, tapi akhirnya, aku membantai dirinya. Dalam pertarungan itu aku terpisah dari Jeod. Tidak ada waktu untuk mencari Jeod, jadi kuambil telur itu dan kubawa ke kaum Varden, yang memintaku melatih siapa pun untuk menjadi Penunggang baru. Aku menyetujui dan memutuskan untuk bersembunyi di Carvahall yang kukunjungi beberapa kali sebelumnya hingga kaum Varden menghubungiku. Tapi aku tidak pernah dipanggil."
"Kalau begitu bagaimana telur Saphira bisa muncul di Spine? Apakah ada telur lain yang berhasil dicuri dari Raja?" tanya Eragon.
Brom mendengus. "Kemungkinan kecil. Galbatorix menjaga kedua telur yang tersisa dengan begitu ketat hingga mencoba untuk mencuri keduanya sama saja dengan bunuh diri. Tidak, Saphira dicuri dari kaum Varden, dan kupikir aku tahu bagaimana caranya. Untuk melindungi telur itu, penjaganya pasti berusaha mengirimkannya padaku menggunakan sihir.
"Kaum Varden tidak menghubungiku untuk menjelaskan bagaimana mereka bisa kehilangan telur itu, jadi kuduga kurir mereka dihadang Kekaisaran dan Ra'zac dikirim untuk menggantikan tempat mereka. Aku yakin mereka cukup bersemangat untuk menemukan diriku, karena aku berhasil merusak banyak rencana mereka."
"Kalau begitu Ra'zac tidak mengetahui tentang diriku sewaktu mereka tiba di Carvahall," kata Eragon takjub.
"Benar," jawab Brom. "Kalau saja si Sloan keparat itu menutup mulut, mereka mungkin tidak tahu tentang dirimu. Kejadian bisa berlangsung cukup berbeda. Aku harus berterima kasih padamu karena kau bisa dibilang menyelamatkan nyawaku. Kalau Ra'zac tidak terlalu sibuk denganmu, mereka mungkin berhasil menyergapku, dan itu berarti akhir dan Brom si tukang cerita. Satu-satunya alasan mereka lari adalah karena aku lebih kuat dari ada mereka berdua, terutama disiang hari. Mereka pasti sudah merencanakan untuk membius, di malam hari lalu menginterogasiku tentang telur tersebut. 
"Kau mengirimkan pesan kepada Varden, memberitahu mereka tentang diriku?" 
"Ya. Aku yakin mereka pasti ingin aku membawamu kepada mereka secepat mungkin."
"Tapi kau tidak akan melakukannya, bukan?"
Brom menggeleng. "Tidak, tidak akan."
"Kenapa? Bersama kaum Varden pasti lebih aman daripada memburu Ra'zac, terutama bagi Penunggang baru."
Brom mendengus dan memandang sayang Eragon. "Kaum Varden adalah orang-orang yang berbahaya. Kalau kita menemui mereka, kau akan terlibat dalam politik dan cara kerja mereka. para pemimpin mereka mungkin akan mengirimmu dalam suatu misi hanya untuk menegaskan maksud mereka, walaupun kau mungkin belum cukup kuat untuk itu. Aku ingin kau mempersiapkan diri dengan baik sebelum mendekati kaum Varden. Setidaknya saat kita memburu Ra'zac, aku tidak perlu khawatir ada yang akan meracuni air minummu. Ra'zac adalah yang paling tidak berbahaya di antara kedua bajingan itu. Dan," ia berkata sambil tersenyum, "latihanku membuatmu senang.... Tuatha du orothrim hanyalah satu tahapan dalam pendidikanmu. Aku akan membantumu menemukan dan mungkin bahkan membunuh Ra'zac, karena mereka juga musuhku. Tapi sesudah itu kau harus menentukan pilihan."
"Dan pilihan itu adalah...?" tanya Eragon waspada.
"Bergabung atau tidak dengan Varden," kata Brom. "Kalau kau membunuh Ra'zac, satu-satunya cara bagimu untuk melarikan diri dari kemurkaan Galbatorix adalah mencari perlindungan Varden, melarikan diri ke Surda, atau memohon pengampunan Raja dan bergabung dengan pasukannya. Bahkan kalau tidak membunuh Ra'zac, kau tetap saja harus menghadapi Pilihan ini akhirnya."
Eragon mengetahui cara terbaik untuk mendapatkan tempat perlindungan adalah bergabung dengan kaum Varden, tapi ia tidak ingin menghabiskan sepanjang sisa hidupnya bertempur melawan Kekaisaran seperti yang mereka lakukan. Ia memikirkan komentar Brom mencoba mempertimbangkannya dari berbagai sudut. "Kau masih belum menjelaskan bagaimana kau bisa mengetahui begitu banyak mengenai naga."
"Belum, memang belum, bukan?" kata Brom sambil tersenyum. "Itu terpaksa menunggu lain kali."
"Kenapa aku? tanya Eragon sendiri. Apa yang menjadikan dirinya begitu istimewa hingga ia akan menjadi Penunggang?
Apakah kau pernah bertemu ibuku?" ia bertanya tiba-tiba.
Brom tampak berduka. "Ya, pernah."
"Seperti apa dia?"
Pria tua itu mendesah. "Ia penuh harga diri dan martabat seperti Garrow. Pada akhirnya itulah yang menjatuhkan dirinya" tapi bagaimanapun itulah salah satu sifat baiknya.... Ia selalu membantu orang miskin dan yang kurang beruntung, tidak peduli bagaimana situasinya sendiri."
"Kau mengenalnya dengan baik?" tanya Eragon, terkejut.
"Cukup baik untuk merindukannya saat ia pergi."
Sementara Cadoc terus berderap, Eragon mencoba mengingat kapan dirinya menganggap Brom tidak lebih daripada pria tua biasa yang senang bercerita. Untuk pertama kalinya Eragon memahami betapa bodoh dirinya selama ini.
Ia memberitahu Saphira apa yang barusan diketahuinya. Saphira senang mendengar cerita Brom, tapi tidak suka ketika memikirkan akan menjadi salah satu milik Galbatorix. Akhirnya Saphira berkata, Tidakkah kau senang karena tidak tinggal terus di Carvahall? Pikirkan semua pengalaman menarik yang pasti kaulewatkan kalau kau tetap di sana! Eragon mengerang pura-pura jengkel.
Sewaktu mereka berhenti di akhir hari itu, Eragon mencari air sementara Brom memasak makan malam. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk mendapatkan kehangatan sambil berjalan dalam lingkaran besar, memasang telinga untuk mendengarkan suara aliran air. Sela-sela pepohonan tampak suram dan lembap.
Ia menemukan sungai kecil agak jauh dari kemah, lalu berjongkok di tepinya dan memandangi air mengalir deras memercik di bebatuan, mencelupkan ujung jemarinya. Air pegunungan yang sedingin es berputar-putar di sekitar kulitnya menyebabkan jemarinya mati rasa. Sungai tidak peduli apa yang terjadi pada kami, atau siapa pun, pikir Eragon. Ia menggigil, dan berdiri.
Jejak yang tidak biasa di seberang sungai menarik perhatiannya. Jejak itu berbentuk aneh dan sangat besar. Karena penasaran, ia melompati sungai ke tonjolan batu. Sewaktu mendarat, kakinya menginjak sepetak lumut basah. Ia menyambar sebatang cabang untuk pegangan, tapi cabang itu patah, maka ia mengulurkan tangan untuk mengurangi kecepatan jatuhnya. ia merasakan pergelangan tangan kanannya retak saat menghantam tanah. Sakit menyengat lengan kanannya. 
Serangkaian makian terlontar dari balik giginya yang dikertakkannya saat ia berusaha tidak berteriak. Setengah mati kesakitan, ia meringkuk di tanah, memeluk lengannya. Eragon! terdengar jeritan terkejut Saphira. Apa yang terjadi?
Pergelangan tanganku patah... aku melakukan kebodohan...
jatuh. Aku datang, kata Saphira.
Tidak perlu aku bisa kembali sendiri. Jangan... kemari. Pepohonannya terlalu rapat untuk.. sayap.
Saphira mengirimkan gambaran sekilas dirinya mengobrak-abrik hutan untuk tiba di tempat Eragon, tapi lalu berkata,
Cepatlah. Sambil mengerang, Eragon bangkit dengan susah payah. Jejak kaki itu melesak dalam di tanah beberapa kaki jauhnya. Jejak sepatu bot yang berat dan berjerigi. Eragon seketika teringat pada jejak kaki yang mengelilingi tumpukan mayat di Yazuac. "Urgal," katanya, berharap membawa Zar'roc; ia tidak bisa menggunakan busur dengan hanya satu tangan. Kepalanya tersentak tegak, dan ia berteriak dalam benaknya, Saphira! Urgal jaga Brom.
Eragon melompati sungai sekali lagi dan berlari ke kemah mereka, sambil mencabut pisau berburu. Ia melihat musuh potensial di balik setiap pohon dan sesemakan. Kuharap hanya ada satu Urgal. Ia menghambur ke perkemahan, merunduk saat ekor Saphira menyapu di atas kepalanya. "Hentikan. Ini aku!" teriaknya.
Ups, kata Saphira. Sayapnya terlipat di depan dadanya seperti dinding.
Ups?"" geram Eragon, sambil berlari mendekatinya. "Kau bisa saja membunuhku! Mana Brom?"
"Aku di sini," sergah suara Brom dari balik sayap Saphira. "Beritahu naga sintingmu ini untuk melepaskan diriku; ia tidak mau mendengarkan aku."
"Lepaskan ia!" kata Eragon, jengkel. "Apakah kau tidak memberitahunya?"
Tidak, kata Saphira malu-malu. Kau hanya bilang aku harus menjaganya. Ia mengangkat sayap, dan Brom melangkah maju dengan marah.
Aku menemukan jejak Urgal. Dan masih baru."
Seketika sikap Brom berubah serius. "Pasang pelana kuda-kuda. Kita berangkat." Ia memadamkan api, tapi Eragon tidak bergerak. "Kenapa lenganmu."
"Pergelangan tanganku patah," kata Eragon, sambil bergoyang-goyang.
Brom memaki dan memasangkan pelana Cadoc baginya. Ia membantu Eragon naik ke kuda dan berkata, "Kita harus membalut lenganmu secepat mungkin. Cobalah untuk tidak menggerakkan pergelanganmu sebelum itu." Eragon mencengkeram kekang erat-erat dengan tangan kiri. Brom berkata pada Saphira, "Sekarang sudah hampir gelap, sebaiknya kau terbang di atas. Kalau Urgal-Urgal itu muncul, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerang karena ada kau di dekat kami."
Sebaiknya begitu, atau mereka tidak bisa berpikir lagi, komentar Saphira sambil lepas landas.
Cuaca dengan cepat berubah gelap, dan kuda-kuda kelelahan, tapi mereka terus memaksa hewan-hewan itu berjalan tanpa istirahat. Pergelangan Eragon, bengkak dan memerah, terus berdenyut-denyut. Satu mil dari kemah, Brom menghentikan kuda. "Dengar," katanya. Eragon mendengar lengkingan samar terompet tanduk untuk panggilan berburu. Saat lengkingan itu menghilang, kepanikan mencengkeram dirinya. "Mereka pasti menemukan tempat kita tadi," kata Brom, "dan mungkin jejak Saphira. Mereka akan mengejar kita sekarang. Bukan sifat mereka untuk membiarkan buruan lolos."
Lalu terdengar dua tiupan terompet lagi. Lebih dekat. Eragon menggigil.
"Satu-satunya kesempatan kita hanyalah melarikan diri," kata Brom. Ia menengadah ke langit, dan wajahnya tampak kosong sewaktu ia memanggil Saphira.
Saphira bergegas muncul dari langit dan mendarat. "Tinggalkan Cadoc. Pergilah bersama Saphira. Kau akan lebih aman," Brom memerintah.
"Bagaimana dengan kau?" protes Eragon.
"Aku akan baik-baik saja. Sekarang pergi!" Karena tidak bertenaga untuk mendebat, Eragon memanjat ke bahu Saphira sementara Brom melecut Snowfire dan melesat pergi bersama Cadoc. Saphira terbang mengikutinya, mengepak-ngepakkan sayap di atas kuda yang berderap kencang.
Eragon berpegangan seerat mungkin pada Saphira, ia mengernyit setiap kali gerakan Saphira menyentakkan pergelangan tangannya. Tiupan terompet tanduk itu terdengar di dekat mereka, memicu gelombang kengerian yang baru. Brom menerobos semak-semak, memaksa kuda-kuda hingga batas kemampuan mereka. Tiupan terompet tanduk terdengar serentak dekat di belakangnya, lalu suasana berubah sunyi. Bermenit-menit berlalu. Di mana Urgal-Urgal itu? pikir Eragon penasaran. Suara terompet tanduk kembali terdengar, kali ini di kejauhan. Eragon mendesah lega, beristirahat ke leher Saphira, sementara di tanah Brom memperlambat laju kuda. Nyaris sekali, kata Eragon.
Ya, tapi kita tidak bisa berhenti sebelum Saphira… disela tiupan terompet yang berasal tepat dari bawah mereka. Eragon tersentak terkejut, dan Brom kembali memacu kuda-kuda. Urgal-Urgal bertanduk, berteriak dengan suara serak, menyerbu di sepanjang jalan setapak dengan mengendarai kuda, dengan cepat memperpendek jarak. Mereka nyaris melihat Brom; pria tua itu tidak bakal bisa meloloskan diri dari mereka. Kita harus bertindak! seru Eragon. 
Apa? Mendaratlah di depan Urgal-Urgal itu! 
Kau sudah sinting? tanya Saphira.
Mendarat! Aku tahu apa yang kulakukan, kata Eragon. Tidak ada waktu untuk tindakan lain. Mereka akan berhasil mengejar Brom!
Baiklah. Saphira terbang mendului Urgal-Urgal itu, lalu berputar balik, bersiap-siap mendarat di jalan setapak. Eragon menjangkau kekuatannya dan merasakan perlawanan yang sama dalam benaknya, perlawanan yang memisahkan dirinya dari sihir. Ia belum berusaha mendobraknya sekarang. Salah satu otot lehernya berkedut.
Saat Urgal-Urgal itu berderap di sepanjang jalan setapak, ia berteriak, "Sekarang!" Saphira tiba-tiba melipat sayap dan jatuh tegak lurus dari atas pepohonan, mendarat di jalan setapak di tengah tanah dan bebatuan yang berhamburan.
Urgal-Urgal itu berteriak terkejut dan menarik kekang kuda masing-masing. Hewan-hewan tersebut berhenti tiba-tiba dan bertabrakan tapi para Urgal dengan cepat membebaskan diri untuk menghadapi Saphira dengan senjata teracung. Kebencian memancar di wajah mereka sementara mereka memelototi Saphira. Dua belas jumlahnya, semuanya makhluk kasar yang buruk dan mencibir. Eragon merasa penasaran kenapa mereka tidak melarikan diri. Tadinya ia mengira kehadiran Saphira akan mengusir mereka pergi dalam ketakutan. Kenapa mereka menunggu? Apakah mereka akan menyerang kami atau tidak?
Ia merasa shock sewaktu Urgal yang paling besar melangkah maju dan berkata, "Majikan kami ingin berbicara denganmu, manusia!" Monster itu berbicara dengan suara serak dan dalam.
Itu jebakan, kata Saphira, memperingatkan sebelum Eragon sempat mengatakan apa-apa. Jangan dengarkan dirinya.
Setidaknya kita jadi bisa mengetahui apa yang akan dikatakannya, Eragon beralasan, penasaran, tapi sangat waspada. "Siapa majikanmu?" tanyanya.
Urgal itu mencibir. "Namanya tidak layak diberitahukan pada manusia serendah dirimu. Ia memerintah langit dan menguasai bumi. Kau tidak lebih daripada semut tersesat baginya. Tapi ia sudah memutuskan kau harus dibawa ke hadapannya, dalam keadaan hidup. Bersyukurlah bahwa kau layak mendapat perhatian sebesar itu!"
"Aku tidak akan pergi bersamamu atau bersama musuhku yang mana pun!" kata Eragon, teringat akan Yazuac. "Kau boleh mengabdi pada Shade, Urgal, atau musuh sinting lainnya yang belum pernah kudengar, tapi aku tidak ingin bercakap-cakap dengannya."
"Itu kesalahan besar," raung Urgal tersebut, menunjukkan taring-taringnya. "Tidak mungkin kau bisa lolos darinya. Pada akhirnya kau akan menghadap majikan kami. Kalau kau melawan, ia akan mengisi hari-harimu dengan penderitaan."
Eragon ingin tahu siapa yang begitu berkuasa hingga mampu menyatukan para Urgal. Apakah ada kekuatan ketiga yang berkeliaran bebas di tanah ini selain Kekaisaran dan Varden? "Simpan saja tawaranmu dan beritahu majikanmu bahwa Aku tidak peduli jika para gagak menyantap tahinya sekalipun!"
Kemurkaan menyapu para Urgal itu; pemimpin mereka melolong, mengertakkan gigi. "Kalau begitu, kami akan menyeretmu kepadanya!" Ia melambai dan para Urgal menyerbu Saphira. Sambil mengangkat tangan, Eragon berteriak, "Jierda!"
Tidak!jerit Saphira, tapi terlambat.
para monster itu gentar sementara telapak tangan Eragon berpendar. Berkas cahaya menyambar dari tangannya, menghantam perut setiap makhluk. Para Urgal terlempar ke udara dan menghantam pepohonan, jatuh pingsan di tanah.
Kelelahan tiba-tiba menguasai Eragon, dan ia jatuh dari
Saphira. Benaknya terasa berkabut dan suram. Sementara Saphira membungkuk di atasnya, ia menyadari dirinya mungkin bertindak terlalu jauh. Energi yang diperlukan untuk mengangkat dan melempar dua belas Urgal luar biasa besar. Ketakutan menguasai dirinya sementara ia berjuang keras untuk tetap sadar.
Di sudut pandangannya ia melihat salah satu Urgal terhuyung-huyung berdiri, membawa pedang. Eragon mencoba memperingatkan Saphira, tapi terlalu lemah. Tidak..., pikirnya lemas. Urgal itu merayap mendekati Saphira hingga melewati ekornya, lalu mengangkat pedang untuk membabat leher Saphira. Tidak... Saphira berputar menghadapi monster itu, meraung buas. Cakar-cakarnya terayun secepat kilat. Darah menyembur ke mana-mana saat Urgal itu terbelah dua.
Saphira mengatupkan rahang dengan keras dan mendekati Eragon. Dengan lembut ia mencengkeram dada Eragon menggunakan cakarnya yang berlumuran darah, lalu menggeram dan melompat ke udara. Malam berubah menjadi berkas-berkas yang menyakitkan. Suara kepakan sayap Saphira yang bagai menghipnotis menyebabkan Eragon terbuai; naik, turun; naik, turun; naik, turun...
Sewaktu Saphira akhirnya mendarat, Eragon samar-samar menyadari Brom bercakap-cakap dengan naganya. Eragon tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan, tapi mereka pasti sudah mengambil keputusan karena Saphira kembali terbang.
Kelelahannya berubah menjadi kantuk berat yang melingkupi dirinya bagai selimut yang empuk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar