Eragon (Bab 30)
27 November
2013 pukul 20:36
VISI
KESEMPURNAAN
Eragon
berputar di balik selimut, enggan membuka mata. Ia nyaris pulas, lalu pikiran
yang tidak jelas memasuki benaknya..., Bagaimana aku bisa berada di sini?
Dengan kebingungan, ia menarik selimut lebih rapat dan merasakan sesuatu yang
keras di lengan kanannya. Ia mencoba menggerakkan pergelangan tangannya.
Pergelangan tangannya terasa sakit. Para Urgal! Ia tersentak duduk.
Ia berada di
lapangan kecil yang kosong, hanya ada api unggun kecil yang memanaskan panci
berisi rebusan. Seekor bajing sibuk mencicit di cabang pohon. Busur dan tabung
anak panahnya tergeletak di samping selimut. Berusaha berdiri menyebabkan ia
meringis, karena otot-ototnya terasa lemas dan sakit. Ada perban tebal di
lengan kanannya yang memar.
Ke mana
semua orang? Pikirnya sedih. Ia mencoba memanggil Saphira, tapi terkejut
sewaktu tidak bisa merasakan kehadirannya. Kelaparan hebat mencengkeram
dirinya, jadi ia menyantap rebusan. Karena masih lapar, ia mencari tas
pelananya, berharap bisa menemukan roti di sana. Tapi baik tas pelana maupun
kuda-kuda tidak ada di lapangan itu. Aku yakin ada alasan bagus untuk Ini,
pikirnya, sambil menekan perasaan tidak enak yang timbul.
Ia
berkeliaran di lapangan itu, lalu kembali ke selimut dan menggulungnya. Tanpa
kegiatan lain yang lebih menarik, ia duduk menyandar ke sebatang pohon dan
memandangi awan di atas kepala. Berjam-jam berlalu, tapi Brom dan Saphira tidak
muncul. Kuharap semua beres.
Saat hari
semakin sore, Eragon merasa bosan dan mulai menjelajahi hutan di sekitarnya.
Sewaktu kelelahan, Ia beristirahat di bawah sebatang pohon fir yang condong ke
sebongkah batu di mana terdapat ceruk berbentuk mangkok yang berisi air embun
yang jernih.
Eragon
menatap air itu dan teringat instruksi Brom untuk melakukan scrying. Mungkin aku
bisa melihat di mana Saphira berada. Kata Brom scrying membutuhkan banyak
energi, tapi aku lebih kuat daripada dirinya... Ia menghelanapas dalam dan
memejamkan mata. Dalam benaknya ia membayangkan Saphira, mengusahakan bayangan
itu sehidup mungkin. Ternyata usaha itu lebih menguras tenaga dari yang
diduganya. Lalu ia berkata, "Draumr kopa!" dan menatap air.
Permukaan
air berubah menjadi rata sepenuhnya, dibekukan kekuatan tidak terlihat.
Pantulan-pantulannya menghilang dan air menjadi jernih. Di permukaannya
bayangan Saphira berpendar. Sekeliling naga itu putih bersih, tapi Eragon bisa
melihat Saphira sedang terbang. Brom duduk di punggung Saphira, janggutnya
berkibar-kibar, pedang melintang di lututnya.
Dengan
kelelahan, Eragon membiarkan bayangan itu memudar. Setidaknya mereka aman. Ia
beristirahat selama beberapa menit, lalu kembali mencondongkan tubuh ke atas
air. Roran, bagaimana keadaanmu? Dalam benaknya ia melihat sepupunya dengan
jelas. Secara naluriah, ia mengerahkan sihir dan menggumamkan kata-katanya.
Airnya tidak
bergerak, lalu bayangan memenuhi permukaannya. Roran muncul, duduk di kursi
yang tidak terlihat. Seperti Saphira, sekelilingnya putih bersih. Ada
kerut-kerut baru di wajah Roran-ia tampak semakin mirip Garrow dibandingkan
kapan pun. Eragon mempertahankan bayangan itu selama mungkin. Apakah Roran ada
di Therinsford? Ia jelas tidak di tempat yang pernah kudatangi.
Pengerahan
tenaga untuk menggunakan sihir menyebabkan keringat menitik di dahinya. Ia
mendesah dan lama merasa Puas dengan duduk saja. Lalu gagasan konyol melintas
dalam benaknya. Bagaimana kalau aku mencoba melihat sesuatu yang kuciptakan
dengan Imajinasiku atau kulihat dalam mimpi? Ia tersenyum. Mungkin aku bisa
melihat bagaimana kesaranku sendiri.
Gagasan itu
terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja.
Ia berlutut
di samping air sekali lagi. Apa yang harus kucari. Ia mempertimbangkan beberapa
hal, tapi mengesampingkan semuanya sewaktu teringat mimpinya tentang wanita
dalam penjara.
Sesudah
memakukan bayangan itu dalam pikirannya ia mengucapkan kata-katanya dan
mengawasi airnya dengan tajam. Ia menunggu, tapi tidak terjadi apa-apa. Dengan
kecewa ia hendak membatalkan sihirnya sewaktu bercak hitam pekat mulai
berputar-putar di permukaan air, menutupi permukaan-nya. Bayangan sebatang
lilin yang menyala muncul dalam kegelapan, semakin terang hingga menampakkan
sel batu. Wanita dalam mimpinya meringkuk di ranjang lipat di salah satu sudut.
Ia menengadah, rambut hitamnya tergerai ke belakang, dan ia menatap lurus ke
arah Eragon. Eragon membeku, kekuatan tatapan wanita tersebut menyebabkan ia
tidak mampu bergerak. Hawa dingin merayapi tulang punggungnya sementara
pandangan mereka terkunci. Lalu wanita itu gemetar dan terkulai lemas.
Airnya
kembali jernih. Eragon bergoyang-goyang pada tumitnya, terengah-engah.
"Tidak mungkin." Ia seharusnya tidak nyata, aku hanya memimpikan
dirinya! Bagaimana Ia bisa mengetahui aku memandang dirinya? Dan bagaimana aku
bisa melihat penjara bawah tanah yang tidak pernah kulihat? Ia menggeleng,
merasa penasaran apakah ada di antara mimpi-mimpinya yang lain yang juga
merupakan visi.
Suara
berirama kepak sayap Saphira menyela pikirannya. Ia bergegas kembali ke
lapangan, tiba tepat saat Saphira mendarat. Brom ada di punggung Saphira,
seperti yang dilihat Eragon tadi, tapi pedangnya sekarang berlumuran darah.
Wajah Brom mengernyit; ujung janggutnya bernoda merah.
"Apa
yang terjadi?" tanya Eragon, khawatir Brom terluka.
"Apa
yang terjadi?" rating pria tua itu. "Aku berusaha membersihkan
kekacauan yang kau buat!" Ia mengayunkan pedangnya di udara, menghamburkan
tetesan darah. "Kau tahu apa yang kaulakukan dengan tipuan kecilmu? Kau
tahu?"
"Aku
menghalangi Urgal-Urgal itu menangkapmu, Eragon, perutnya terasa melilit.
"Ya,"
kata Brom, "tapi sihir itu nyaris membunuhmu! Kau tidur selama dua hari.
Ada dua belas Urgal. Dua belas! Tapi itu tidak menghalangimu untuk melemparkan
mereka semua hingga Teirm, bukan? Apa yang kaupikirkan? Menembakkan sebutir
batu hingga menembus kepala mereka masing-masing merupakan tindakan yang
cerdas. Tapi tidak, kau malah membuat mereka pingsan agar mereka bisa melarikan
diri. Kau habiskan dua hari terakhir ini untuk melacak mereka. Bahkan dengan
Saphira, tiga Urgal masih berhasil meloloskan diri!"
"Aku
tidak ingin membunuh mereka," kata Eragon, merasa
sangat
kecil.
"Hal
itu tidak menjadi masalah di Yazuac."
"Waktu
itu tidak ada pilihan lain, dan aku tidak bisa mengendalikan sihirnya. Kali ini
rasanya... ekstrem."
"Ekstrem!"
seru Brom. "Tidak ekstrem kalau mereka tidak mau menunjukkan belas kasihan
yang sama terhadapmu. Dan kenapa, oh kenapa, kau menunjukkan diri di hadapan
mereka?"
"Katamu
mereka menemukan jejak Saphira. Tidak ada bedanya kalau mereka melihat
diriku," kata Eragon dengan nada membela diri.
Brom
menghunjamkan pedangnya ke tanah dan menyergah, "Kataku mereka mungkin
menemukan jejak Saphira. Kita tidak mengetahuinya dengan pasti. Mereka mungkin
saja percaya telah memburu pelancong yang tersesat. Tapi mana bisa mereka
sekarang berpikir begitu? Kau mendarat tepat di depan mereka! Dan karena kau
membiarkan mereka tetap hidup, mereka akan berhamburan di pedalaman sambil
menyebarkan berbagai kisah yang fantastis! Ini bahkan bisa kedengaran hingga
Kekaisaran!" Ia mengangkat kedua tangannya. "Kau bahkan tidak layak
disebut Penunggang sesudah ini, Nak." Brom mencabut pedangnya dari tanah
dan melangkah cepat ke api unggun. Ia mengambil sehelai kain dari balik mantel
dan dengan marah mulai membersihkan pedangnya.
Eragon
tertegun. Ia mencoba meminta nasihat pada Saphira, tapi Saphira hanya mengatakan,
Bicaralah pada Brom.
Dengan ragu
Eragon berjalan ke api unggun dan bertanya, Apakah ada gunanya kalau kukatakan
aku menyesal?"
Brom,
mendesah dan menyarungkan pedangnya. "Tidak, tidak ada gunanya. Perasaanmu
tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi." Ia menusukkan satu jari ke
dada Eragon. "Kau telah mengambil pilihan yang sangat buruk dan yang bisa
menghasilkan akibat-akibat berbahaya. Salah satunya, kau bisa tewas karenanya.
tewas, Eragon! mulai sekarang kau harus berpikir. Ada alasan kenapa kita
dilahirkan dengan otak di kepala kita, bukannya batu."
Eragon
mengangguk, malu. "Tapi situasinya tidak seburuk dugaanmu; para Urgal
sudah mengetahui tentang diriku. Mereka bahkan diperintahkan untuk
menangkapku."
Ketertegunan
menyebabkan mata Brommembelalak. Ia menjejalkan pipanya yang tidak dinyalakan
ke mulut. "Ya, ternyata situasinya memang tidak seburuk dugaanku. Tapi
lebih buruk, Saphira memberitahuku kau sempat bercakap-cakap dengan para Urgal,
tapi ia tidak menyinggung hal ini." Kata-kata berhamburan tidak teratur
dari mulut Eragon saat ia dengan tergesa-gesa menceritakan konfrontasi itu.
"Jadi sekarang mereka memiliki semacam pemimpin, eh?" tanya Brom.
Eragon
mengangguk.
"Dan
kau menolak keinginannya begitu saja, menghina dirinya, dan menyerang anak
buahnya?" Brom menggeleng. "Kurasa situasinya tidak bisa lebih buruk
lagi. Kalau para Urgal itu dibunuh, kekasaranmu tidak akan disadari orang lain,
tapi sekarang mustahil mengabaikannya. Selamat, kau baru saja bermusuhan dengan
salah satu makhluk paling kuat di Alagaesia."
"Baiklah,
aku melakukan kesalahan," kata Eragon cemberut. "Ya, memang,"
Brom menyetujui, matanya berkilau-kilau.
"Tapi
yang membuatku khawatir adalah siapa pemimpin para Urgal ini."
Sambil
menggigil, Eragon bertanya dengan suara pelan, "Apa yang akan terjadi
sekarang?"
Brom tidak
segera menjawab, menyebabkan suasana terasa tidak nyaman. "Lenganmu
membutuhkan waktu sedikitnya dua minggu untuk sembuh. Waktu itu bisa digunakan
untuk membuatmu berpikir lebih logis. Kurasa kejadian ini sebagian merupakan
kesalahanku. Aku seharusnya mengajarimu bagaimana bertindak, bukan apakah kau
harus bertindak atau tidak untuk itu dibutuhkan kebijaksanaan, yang jelas
kurang kaumiliki. Semua sihir di Alagaesia tidak akan membantumu kala kau tidak
mengetahui kapan saat yang tepat menggunakan sihir."
"Tapi
kita tetap akan pergi ke Dras-Leona, bukan? tanya Eragon.
Brom memutar
bola matanya. "Ya, kita bisa terus mencari Ra'zac, tapi bahkan kalau kita
berhasil menemukan mereka, tidak ada gunanya kecuali kau sudah sembuh." Ia
mulai
melepaskan
pelana Saphira. "Kau cukup kuat untuk berkuda?"
Kurasa
begitu."
"Bagus,
kalau begitu kita masih bisa menempuh beberapa mil lagi hari ini."
"Mana
Cadoc dan Snowfire?"
Brom
menunjuk ke samping. "Di sebelah sana. Kuikat mereka di tempat yang
berumput."
Eragon
bersiap-siap berangkat, lalu mengikuti Brom ke tempat kuda.
Saphira
berkata tajam, Kalau kau menjelaskan apa rencanamu waktu itu, tidak satu pun
dari semua ini akan terjadi. Aku pasti memberitahumu bahwa tidak membunuh para
Urgal itu bukan gagasan bagus. Aku menyetujui melakukan apa yang kau minta
hanya karena kuanggap permintaanmu cukup masuk akal!
Aku tidak
ingin membicarakannya.
Terserah,
Saphira mendengus.
Sewaktu
mereka berjalan, setiap tonjolan dan ceruk di jalan setapak menyebabkan Eragon
mengertakkan gigi karena tidak nyaman. Kalau sendirian, ia pasti sudah
berhenti. Dengan adanya Brom, ia tidak berani mengeluh. Selain itu, Brom mulai
melatihnya dengan skenario-skenario sulit yang melibatkan Urgal, sihir, dan Saphira.
Pertempuran-pertempuran imajiner itu banyak dan bervariasi. Terkadang satu
Shade atau naga-naga lainnya terlibat. Eragon mendapati bahwa ternyata ia bisa
menyiksa tubuh dan benaknya pada saat yang bersamaan. Ia salah menjawab
sebagian besar pertanyaan dan makin lama makin frustrasi karenanya.
Sewaktu
mereka berhenti di akhir hari itu, Brom menggerutu singkat,
"Lumayanlah." Eragon pun menyadari Brom kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar