Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 30



Eragon (Bab 30)
27 November 2013 pukul 20:36
VISI KESEMPURNAAN

Eragon berputar di balik selimut, enggan membuka mata. Ia nyaris pulas, lalu pikiran yang tidak jelas memasuki benaknya..., Bagaimana aku bisa berada di sini? Dengan kebingungan, ia menarik selimut lebih rapat dan merasakan sesuatu yang keras di lengan kanannya. Ia mencoba menggerakkan pergelangan tangannya. Pergelangan tangannya terasa sakit. Para Urgal! Ia tersentak duduk.
Ia berada di lapangan kecil yang kosong, hanya ada api unggun kecil yang memanaskan panci berisi rebusan. Seekor bajing sibuk mencicit di cabang pohon. Busur dan tabung anak panahnya tergeletak di samping selimut. Berusaha berdiri menyebabkan ia meringis, karena otot-ototnya terasa lemas dan sakit. Ada perban tebal di lengan kanannya yang memar.
Ke mana semua orang? Pikirnya sedih. Ia mencoba memanggil Saphira, tapi terkejut sewaktu tidak bisa merasakan kehadirannya. Kelaparan hebat mencengkeram dirinya, jadi ia menyantap rebusan. Karena masih lapar, ia mencari tas pelananya, berharap bisa menemukan roti di sana. Tapi baik tas pelana maupun kuda-kuda tidak ada di lapangan itu. Aku yakin ada alasan bagus untuk Ini, pikirnya, sambil menekan perasaan tidak enak yang timbul.
Ia berkeliaran di lapangan itu, lalu kembali ke selimut dan menggulungnya. Tanpa kegiatan lain yang lebih menarik, ia duduk menyandar ke sebatang pohon dan memandangi awan di atas kepala. Berjam-jam berlalu, tapi Brom dan Saphira tidak muncul. Kuharap semua beres.
Saat hari semakin sore, Eragon merasa bosan dan mulai menjelajahi hutan di sekitarnya. Sewaktu kelelahan, Ia beristirahat di bawah sebatang pohon fir yang condong ke sebongkah batu di mana terdapat ceruk berbentuk mangkok yang berisi air embun yang jernih.
Eragon menatap air itu dan teringat instruksi Brom untuk melakukan scrying. Mungkin aku bisa melihat di mana Saphira berada. Kata Brom scrying membutuhkan banyak energi, tapi aku lebih kuat daripada dirinya... Ia menghelanapas dalam dan memejamkan mata. Dalam benaknya ia membayangkan Saphira, mengusahakan bayangan itu sehidup mungkin. Ternyata usaha itu lebih menguras tenaga dari yang diduganya. Lalu ia berkata, "Draumr kopa!" dan menatap air.
Permukaan air berubah menjadi rata sepenuhnya, dibekukan kekuatan tidak terlihat. Pantulan-pantulannya menghilang dan air menjadi jernih. Di permukaannya bayangan Saphira berpendar. Sekeliling naga itu putih bersih, tapi Eragon bisa melihat Saphira sedang terbang. Brom duduk di punggung Saphira, janggutnya berkibar-kibar, pedang melintang di lututnya.
Dengan kelelahan, Eragon membiarkan bayangan itu memudar. Setidaknya mereka aman. Ia beristirahat selama beberapa menit, lalu kembali mencondongkan tubuh ke atas air. Roran, bagaimana keadaanmu? Dalam benaknya ia melihat sepupunya dengan jelas. Secara naluriah, ia mengerahkan sihir dan menggumamkan kata-katanya.
Airnya tidak bergerak, lalu bayangan memenuhi permukaannya. Roran muncul, duduk di kursi yang tidak terlihat. Seperti Saphira, sekelilingnya putih bersih. Ada kerut-kerut baru di wajah Roran-ia tampak semakin mirip Garrow dibandingkan kapan pun. Eragon mempertahankan bayangan itu selama mungkin. Apakah Roran ada di Therinsford? Ia jelas tidak di tempat yang pernah kudatangi.
Pengerahan tenaga untuk menggunakan sihir menyebabkan keringat menitik di dahinya. Ia mendesah dan lama merasa Puas dengan duduk saja. Lalu gagasan konyol melintas dalam benaknya. Bagaimana kalau aku mencoba melihat sesuatu yang kuciptakan dengan Imajinasiku atau kulihat dalam mimpi? Ia tersenyum. Mungkin aku bisa melihat bagaimana kesaranku sendiri. 
Gagasan itu terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja.
Ia berlutut di samping air sekali lagi. Apa yang harus kucari. Ia mempertimbangkan beberapa hal, tapi mengesampingkan semuanya sewaktu teringat mimpinya tentang wanita dalam penjara.
Sesudah memakukan bayangan itu dalam pikirannya ia mengucapkan kata-katanya dan mengawasi airnya dengan tajam. Ia menunggu, tapi tidak terjadi apa-apa. Dengan kecewa ia hendak membatalkan sihirnya sewaktu bercak hitam pekat mulai berputar-putar di permukaan air, menutupi permukaan-nya. Bayangan sebatang lilin yang menyala muncul dalam kegelapan, semakin terang hingga menampakkan sel batu. Wanita dalam mimpinya meringkuk di ranjang lipat di salah satu sudut. Ia menengadah, rambut hitamnya tergerai ke belakang, dan ia menatap lurus ke arah Eragon. Eragon membeku, kekuatan tatapan wanita tersebut menyebabkan ia tidak mampu bergerak. Hawa dingin merayapi tulang punggungnya sementara pandangan mereka terkunci. Lalu wanita itu gemetar dan terkulai lemas.
Airnya kembali jernih. Eragon bergoyang-goyang pada tumitnya, terengah-engah. "Tidak mungkin." Ia seharusnya tidak nyata, aku hanya memimpikan dirinya! Bagaimana Ia bisa mengetahui aku memandang dirinya? Dan bagaimana aku bisa melihat penjara bawah tanah yang tidak pernah kulihat? Ia menggeleng, merasa penasaran apakah ada di antara mimpi-mimpinya yang lain yang juga merupakan visi.
Suara berirama kepak sayap Saphira menyela pikirannya. Ia bergegas kembali ke lapangan, tiba tepat saat Saphira mendarat. Brom ada di punggung Saphira, seperti yang dilihat Eragon tadi, tapi pedangnya sekarang berlumuran darah. Wajah Brom mengernyit; ujung janggutnya bernoda merah.
"Apa yang terjadi?" tanya Eragon, khawatir Brom terluka.
"Apa yang terjadi?" rating pria tua itu. "Aku berusaha membersihkan kekacauan yang kau buat!" Ia mengayunkan pedangnya di udara, menghamburkan tetesan darah. "Kau tahu apa yang kaulakukan dengan tipuan kecilmu? Kau tahu?"
"Aku menghalangi Urgal-Urgal itu menangkapmu, Eragon, perutnya terasa melilit.
"Ya," kata Brom, "tapi sihir itu nyaris membunuhmu! Kau tidur selama dua hari. Ada dua belas Urgal. Dua belas! Tapi itu tidak menghalangimu untuk melemparkan mereka semua hingga Teirm, bukan? Apa yang kaupikirkan? Menembakkan sebutir batu hingga menembus kepala mereka masing-masing merupakan tindakan yang cerdas. Tapi tidak, kau malah membuat mereka pingsan agar mereka bisa melarikan diri. Kau habiskan dua hari terakhir ini untuk melacak mereka. Bahkan dengan Saphira, tiga Urgal masih berhasil meloloskan diri!"
"Aku tidak ingin membunuh mereka," kata Eragon, merasa
sangat kecil.
"Hal itu tidak menjadi masalah di Yazuac."
"Waktu itu tidak ada pilihan lain, dan aku tidak bisa mengendalikan sihirnya. Kali ini rasanya... ekstrem."
"Ekstrem!" seru Brom. "Tidak ekstrem kalau mereka tidak mau menunjukkan belas kasihan yang sama terhadapmu. Dan kenapa, oh kenapa, kau menunjukkan diri di hadapan mereka?"
"Katamu mereka menemukan jejak Saphira. Tidak ada bedanya kalau mereka melihat diriku," kata Eragon dengan nada membela diri.
Brom menghunjamkan pedangnya ke tanah dan menyergah, "Kataku mereka mungkin menemukan jejak Saphira. Kita tidak mengetahuinya dengan pasti. Mereka mungkin saja percaya telah memburu pelancong yang tersesat. Tapi mana bisa mereka sekarang berpikir begitu? Kau mendarat tepat di depan mereka! Dan karena kau membiarkan mereka tetap hidup, mereka akan berhamburan di pedalaman sambil menyebarkan berbagai kisah yang fantastis! Ini bahkan bisa kedengaran hingga Kekaisaran!" Ia mengangkat kedua tangannya. "Kau bahkan tidak layak disebut Penunggang sesudah ini, Nak." Brom mencabut pedangnya dari tanah dan melangkah cepat ke api unggun. Ia mengambil sehelai kain dari balik mantel dan dengan marah mulai membersihkan pedangnya.
Eragon tertegun. Ia mencoba meminta nasihat pada Saphira, tapi Saphira hanya mengatakan, Bicaralah pada Brom.
Dengan ragu Eragon berjalan ke api unggun dan bertanya, Apakah ada gunanya kalau kukatakan aku menyesal?"
Brom, mendesah dan menyarungkan pedangnya. "Tidak, tidak ada gunanya. Perasaanmu tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi." Ia menusukkan satu jari ke dada Eragon. "Kau telah mengambil pilihan yang sangat buruk dan yang bisa menghasilkan akibat-akibat berbahaya. Salah satunya, kau bisa tewas karenanya. tewas, Eragon! mulai sekarang kau harus berpikir. Ada alasan kenapa kita dilahirkan dengan otak di kepala kita, bukannya batu."
Eragon mengangguk, malu. "Tapi situasinya tidak seburuk dugaanmu; para Urgal sudah mengetahui tentang diriku. Mereka bahkan diperintahkan untuk menangkapku."
Ketertegunan menyebabkan mata Brommembelalak. Ia menjejalkan pipanya yang tidak dinyalakan ke mulut. "Ya, ternyata situasinya memang tidak seburuk dugaanku. Tapi lebih buruk, Saphira memberitahuku kau sempat bercakap-cakap dengan para Urgal, tapi ia tidak menyinggung hal ini." Kata-kata berhamburan tidak teratur dari mulut Eragon saat ia dengan tergesa-gesa menceritakan konfrontasi itu. "Jadi sekarang mereka memiliki semacam pemimpin, eh?" tanya Brom.
Eragon mengangguk.
"Dan kau menolak keinginannya begitu saja, menghina dirinya, dan menyerang anak buahnya?" Brom menggeleng. "Kurasa situasinya tidak bisa lebih buruk lagi. Kalau para Urgal itu dibunuh, kekasaranmu tidak akan disadari orang lain, tapi sekarang mustahil mengabaikannya. Selamat, kau baru saja bermusuhan dengan salah satu makhluk paling kuat di Alagaesia."
"Baiklah, aku melakukan kesalahan," kata Eragon cemberut. "Ya, memang," Brom menyetujui, matanya berkilau-kilau.
"Tapi yang membuatku khawatir adalah siapa pemimpin para Urgal ini."
Sambil menggigil, Eragon bertanya dengan suara pelan, "Apa yang akan terjadi sekarang?"
Brom tidak segera menjawab, menyebabkan suasana terasa tidak nyaman. "Lenganmu membutuhkan waktu sedikitnya dua minggu untuk sembuh. Waktu itu bisa digunakan untuk membuatmu berpikir lebih logis. Kurasa kejadian ini sebagian merupakan kesalahanku. Aku seharusnya mengajarimu bagaimana bertindak, bukan apakah kau harus bertindak atau tidak untuk itu dibutuhkan kebijaksanaan, yang jelas kurang kaumiliki. Semua sihir di Alagaesia tidak akan membantumu kala kau tidak mengetahui kapan saat yang tepat menggunakan sihir."
"Tapi kita tetap akan pergi ke Dras-Leona, bukan? tanya Eragon.
Brom memutar bola matanya. "Ya, kita bisa terus mencari Ra'zac, tapi bahkan kalau kita berhasil menemukan mereka, tidak ada gunanya kecuali kau sudah sembuh." Ia mulai
melepaskan pelana Saphira. "Kau cukup kuat untuk berkuda?"
Kurasa begitu."
"Bagus, kalau begitu kita masih bisa menempuh beberapa mil lagi hari ini."
"Mana Cadoc dan Snowfire?"
Brom menunjuk ke samping. "Di sebelah sana. Kuikat mereka di tempat yang berumput."
Eragon bersiap-siap berangkat, lalu mengikuti Brom ke tempat kuda.
Saphira berkata tajam, Kalau kau menjelaskan apa rencanamu waktu itu, tidak satu pun dari semua ini akan terjadi. Aku pasti memberitahumu bahwa tidak membunuh para Urgal itu bukan gagasan bagus. Aku menyetujui melakukan apa yang kau minta hanya karena kuanggap permintaanmu cukup masuk akal!
Aku tidak ingin membicarakannya.
Terserah, Saphira mendengus.
Sewaktu mereka berjalan, setiap tonjolan dan ceruk di jalan setapak menyebabkan Eragon mengertakkan gigi karena tidak nyaman. Kalau sendirian, ia pasti sudah berhenti. Dengan adanya Brom, ia tidak berani mengeluh. Selain itu, Brom mulai melatihnya dengan skenario-skenario sulit yang melibatkan Urgal, sihir, dan Saphira. Pertempuran-pertempuran imajiner itu banyak dan bervariasi. Terkadang satu Shade atau naga-naga lainnya terlibat. Eragon mendapati bahwa ternyata ia bisa menyiksa tubuh dan benaknya pada saat yang bersamaan. Ia salah menjawab sebagian besar pertanyaan dan makin lama makin frustrasi karenanya.
Sewaktu mereka berhenti di akhir hari itu, Brom menggerutu singkat, "Lumayanlah." Eragon pun menyadari Brom kecewa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar