Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 34



Eragon (Bab 34)
28 November 2013 pukul 20:25
PARA PEMUJA HELGRIND

Eragon sendirian di kamar sewaktu terjaga. Di dinding terdapat tulisan dengan arang yang berbunyi:
Eragon, Aku akan pergi hingga larut malam ini. Uang untuk membeli makanan ada di bawah kasur. jelajahilah kota, bersenang-senanglah, tapi jangan menarik perhatian! Brom
N.B. Hindari istana. Jangan pergi ke mana pun tanpa busurmu! Pasang talinya.
Eragon bergegas untuk membersihkan bekas coretan pesan yang tertera di dinding, lalu mengambil uang dari bawah kasur. Ia melintangkan busurnya di punggung, sambil berpikir, Kalau saja aku tidak harus membawa senjata setiap saat...
Ia meninggalkan Golden Globe dan menyusuri jalan, berhenti untuk mengamati apa pun yang menarik perhatiannya. Banyak toko yang menarik, tapi tidak satu pun memesona seperti toko tanaman obat Angela di Teirm. Terkadang ia memandangi rumah-rumah yang gelap dan sesak lalu berharap untuk segera bisa meninggalkan kota ini. Sewaktu perutnya merasa lapar, ia membeli sepotong keju dan sebongkah roti lalu menyantapnya sambil duduk di tepi jalan.
Kemudian, di sudut jauh Dras-Leona, ia mendengar juru mengumumkan sederetan harga. Karena penasaran, ia berjalan ke arah asal suara itu dan tiba di celah lebar di antara dua bangunan. Sepuluh orang berdiri di panggung setinggi pinggang orang dewasa. Di depan mereka telah berkerumun orang-orang berpakaian mewah yang berwarna-warni mencolok. Mana barang yang akan di jual? pikir Eragon penasaran. Lelang selesai memberitahukan harga-harganya dan memberi isyarat memanggil pemuda di belakang panggung untuk bergabung dengannya. Pemuda itu berjalan naik dengan kikuk, rantai mengikat tangan dan kakinya. "Dan ini barang pertama kita," seru juru lelang. "Pemuda yang sehat dari Padang Pasir Hadarac, baru ditangkap bulan lalu, dan dalam kondisi yang sangat bagus. Lihat lengan dan kakinya; ia sekuat kerbau! Ia sempurna sebagai pembawa perisai, atau, kalau Anda tidak memercayainya untuk itu, kerja keras. Tapi kuberitahu, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, itu bakal jadi penyia-nyiaan. Ia sangat cerdas, kalau Anda bisa membuatnya berbicara secara beradab!"
Kerumunan orang tertawa, dan Eragon mengertakkan gigi karena murka. Bibirnya bergerak menyusun kata-kata yang akan membebaskan budak tersebut, dan lengannya, yang baru saja dibebaskan dari pembalut, terangkat. Tanda di telapak tangannya berpendar. Ia hendak melepaskan sihirnya sewaktu kesadaran melintas dalam benaknya, Ia tidak akan bisa meloloskan diri! Budak itu akan tertangkap sebelum mencapai dinding kota. Eragon hanya akan memperburuk situasinya kalau ia mencoba membantu. Ia menurunkan lengan dan memaki diam-diam. Pikir! Beginilah caramu mendapat masalah dengan para Urgal.
Ia mengawasi tanpa daya waktu budak itu terjual kepada pria jangkung berhidung elang. Budak berikutnya gadis kecil, tidak lebih dari enam tahun, dirampas dari tangan ibunya yang menangis. Sementara juru lelang memulai pelelangan, Eragon memaksa diri untuk berlalu, kaku karena murka dan marah.
Setelah berada beberapa blok dari tempat itu, barulah ia mulai menangis. Aku ingin ada pencuri yang mencoba mengambil dompetku sekarang, pikirnya muram, nyaris berharap itu benar-benar terjadi. Dengan perasaan frustrasi, ia meninju dinding di dekatnya, melukai buku-buku jemarinya. 
Hal-hal seperti Itulah yang bisa kulakukan dengan melawan. Kekaisaran, pikirnya tersadar. Dengan didampingi Saphira aku bisa membebaskan budak-budak itu. Aku dikaruniai kekuatan khusus, aku akan egois kalau tidak menggunakan kekuatan itu demi orang lain. Kalau tidak, lebih baik aku tidak menjadi Penunggang sama sekali.
Baru beberapa saat kemudian ia berusaha mengenali tempat ia berada dan terkejut mendapati dirinya di depan katedral, Menara-menaranya yang berputar tertutup berbagai pahatan dan ukiran. Gargoyle-gargoyle yang menyeringai berjongkok di sepanjang langkah. Makhluk-makhluk buas yang fantastis menggeliat dan menyeringai di dinding-dindingnya, dan para pahlawan serta raja berbaris di sepanjang tepi dasarnya, membeku dalam marmer dingin. Lengkungan-lengkungan berusuk dan jendela-jendela kaca berwarna yang tinggi berjajar di sisi katedral, bersama tiang-tiang yang berbeda ukuran. Menara patroli menjulang sendirian di bangunan itu bagai tiang kapal.
Dalam ceruk remang-remang di bagian depan katedral terdapat pintu besi dengan sederetan tulisan perak yang dikenali Eragon sebagai bahasa kuno. Tulisan itu, menurut kemampuan membacanya, berbunyi: Biarlah siapa pun yang memasuki tempat ini memahami ketidak abadiannya dan melupakan keterikatannya dengan apa yang dikasihnya.
Seluruh bangunan itu menyebabkan Eragon menggigil. Ada sesuatu yang mengancam pada bangunan itu, seakan bangunan tersebut hewan pemangsa yang mengintai di kota, menunggu korban berikut.
Sederet anak tangga lebar berbaris ke pintu masuk katedral, Eragon dengan khidmat mendaikinya dan berhenti di depan pintu. Aku ingin tahu apakah aku bisa masuk Nyaris dengan perasaan bersalah ia mendorong pintunya. Pintu itu terayun membuka dengan halus, meluncur pada engsel-engselnya yang diminyaki. Ia melangkah masuk.
Kesunyian makam yang terlupakan mengisi katedral yang kosong itu. Udara terasa dingin dan kering. Dinding-dinding telanjang menjulang hingga ke langit-langit cekung yang tinggi hingga Eragon merasa sekecil semut. Jendela-jendela kaca berwarna yang menggambarkan adegan kemarahan, kebencian, dan penyesalan menghiasi dindingnya, sementara berkas-berkas cahaya menerangi beberapa deretan bangku dari granit dengan warna kelabu transparan, meninggalkan sisanya dalam bayang-bayang. Kedua tangan Eragon bagai terbungkus cahaya biru tua.
Di antara jendela-jendela terdapat beberapa patung dengan mata yang pucat dan kaku. Ia membalas tatapan mereka, lalu perlahan-lahan menyusuri lorong tengah, takut memecahkan kesunyian di sana. Sepatu bot kulitnya berderap tanpa suara di lantai batu licin.
Altarnya terbuat dari sebongkah batu besar tanpa hiasan apapun. Seberkas cahaya jatuh ke sana, menerangi bintik-bintik debu keemasan yang melayang di udara. Di belakang altar, pipa-pipa orgel menembus langit-langit dan membuka diri pada elemen-elemen alam. Instrumen itu akan memainkan musiknya hanya kalau badai mengguncang Dras-Leona.
Karena menghormatinya, Eragon berlutut di depan altar dan menundukkan kepala. Ia tidak berdoa tapi memberi hormat pada katedral itu sendiri. Penderitaan hidup berbagai orang yang telah disaksikan bangunan itu, juga kejadian-kejadian rumit yang berlangsung di sela dinding-dindingnya, terpancar dari bebatuan di sana. Tempat itu terlarang, telanjang, dan dingin. Tapi dalam sentuhan dingin itu sekilas terlihat keabadian dan mungkin kekuatan-kekuatan yang berada di sana.
Akhirnya Eragon mengangkat kepala dan bangkit. Dengan tenang dan serius, ia berbisik sendiri dalam bahasa kuno, lalu berbalik pergi. Ia membeku. Jantungnya bagai terlonjak, berdebam-debam seperti drum.
Ra'zac berdiri di pintu masuk katedral, memandangi dirinya. Pedang mereka teracung, tepinya yang tajam bagai berlumuran darah ketika kena cahaya kemerahan. Ra'zac yang lebih kecil mendesis. Tidak satu pun dari mereka berdua bergerak.
Kemurkaan menggelegak dalam diri Eragon. Ia sudah mengejar Ra'zac begitu lama hingga penderitaan akibat pembunuhan yang mereka lakukan telah mereda dalam dirinya. Tapi pembalasan dendam ada di depan mata. Kemurkaannya meledak bagai kawah gunung berapi, semakin besar akibat perdagangan budak yang disaksikannya. Raungan terlontar dari mulutnya, menggema bagai badai sementara ia mengambil busur dari punggung. Dengan sigap ia memasang anak panah di busur dan menembakkannya. Dua anak panah lagi menyusul sesaat kemudian.
Ra'zac melompat menjauhi anak-anak panah itu dengan kesigapan yang tidak manusiawi. Mereka mendesis sambil berlari menyusuri lorong di sela bangku-bangku, mantel mereka berkibar-kibar bagai sayap gagak. Eragon meraih anak panahnya tapi sikap hati-hati menahan tangannya. Kalau mereka mengetahui di mana bisa menemukan diriku. Brom juga terancam bahaya! Aku harus memperingatkannya! Lalu, yang memicu kengerian Eragon, barisan prajurit memasuki katedral, dan sekilas ia melihat lautan seragam berdesakan di luar ambang pintu.
Eragon menatap Ra'zac yang menerjang maju dengan pandangan ganas, lalu berputar, mencari jalan untuk melarikan diri. Ruang kecil di sebelah kiri altar menarik perhatiannya. Ia berlari melewati pintu melengkung dan menyusuri koridor yang menuju tempat tinggal pendeta. Detakan langkah Ra'zac di belakangnya menyebabkan ia mempercepat lari hingga lorong tiba-tiba berakhir pada pintu tertutup.
Ia memukul-mukulnya, berusaha mendobraknya, tapi kayunya terlalu kuat. Ra'zac nyaris tiba di tempatnya. Dengan panik, ia menghela napas dan meraung, "Jierda!" Diiringi kilasan cahaya, pintunya hancur berkeping-keping ke lantai. Eragon melompat masuk ke ruang kecil dan terus berlari.
Ia melesat melewati beberapa ruangan, mengejutkan sekelompok pendeta. Teriakan dan makian mengikuti kepergiannya. Lonceng tempat tinggal pendeta meneriakkan peringatan Eragon menerobos memasuki dapur, melewati sepasang biarawan, lalu menyelinap keluar melalui pintu samping. Ia berhenti di taman yang dikelilingi dinding bata tinggi tanpa tonjolan untuk pegangan. Tidak ada jalan keluar lain yang dapat memberinya peluang kali ini.
Eragon berbalik hendak pergi, tapi terdengar desisan pelan sementara Ra'zac menerobos pintu. Dengan putus asa, ia bergegas mendekati dinding, lengannya bergerak cepat. Sihir tidak bisa membantunya di sini kalau ia menggunakan sihir untuk menghancurkan dinding tebal, ia akan terlalu lelah untuk melarikan diri.
Ia melompat. Bahkan dengan kedua lengan terulur, hannya ujung jemarinya yang menyapu puncak dinding. Bagiannya yang lain terempas ke bata, menyentakkan napasnya Eragon tersentak dan tergantung di sana, berjuang keras untuk tidak jatuh. Ra'zac masuk ke taman, berpaling ke sana kemari seperti anjing pemburu yang mengendus-endus mangsa.
Eragon merasakan kehadiran mereka yang semakin dekat dan mengangkat tubuhnya. Bahunya kesakitan hebat saat ia memanjat dinding dan menjatuhkan diri di baliknya. Ia terhuyung, lalu keseimbangannya pulih dan ia melesat memasuki lorong sempit tepat pada saat Ra'zac melompati dinding. Dengan membulatkan tekad, Eragon kembali berlari sekuat tenaga.
Ia berlari selama lebih dari satu mil sebelum terpaksa berhenti untuk menenangkan napas. Tidak yakin apakah berhasil lolos dari Ra'zak. Ia menemukan pasar yang penuh sesak dan menunduk ke bawah kereta yang diparkir. Bagaimana mereka bisa menemukan diriku? pikirnya penasaran, napasnya terengah-engah. Mereka seharusnya tidak mengetahui di mana aku berada... kecuali ada yang terjadi pada Brom! Ia menjangkau Saphira dengan pikirannya dan berkata, Ra'zac menemukan diriku. Kita semua terancam bahaya! Periksa Brom apakah Ia baik-baik saja. Kalau iya, peringatkan dirinya dan minta Ia menemui aku di penginapan. Dan bersiap-siaplah terbang kemari secepat mungkin. Kami mungkin membutuhkan bantuanmu untuk melarikan diri.
Saphira membisu, lalu berkata singkat, Ia akan menemuimu di penginapan. jangan berhenti bergerak; kau terancam bahaya besar.
"Memangnya aku tidak tahu?" gumam Eragon sambil berguling keluar dari bawah kereta. Ia bergegas kembali ke Golden Globe, dengan cepat mengemasi barang-barang mereka, memasang pelana kuda-kuda, lalu membimbing kedua hewan itu ke jalan. Brom tiba tidak lama kemudian, membawa tongkat, merengut berbahaya. Ia naik ke punggung Snowfire dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Aku ada di katedral sewaktu Ra'zac tiba-tiba muncul di belakangku," kata Eragon, sambil naik ke punggung Cadoc. "Aku berlari kemari secepat mungkin, tapi mereka bisa tiba disana setiap saat. Saphira akan menggabungkan diri dengan kita untuk segera pergi begitu kita berada di luar Dras-Leona."
"Kita harus keluar dari dinding kota sebelum mereka menutup gerbang-gerbang, kalau mereka belum menutupnya," kata Brom. "Kalau mereka sudah menutupnya, akan sangat mustahil bagi kita untuk pergi. Apa pun yang kau lakukan, jangan terpisah dariku." Eragon mengejang saat sekelompok prajurit berderap mendekat dari salah satu ujung jalan.
Brom memaki, melecut snowfire dengan kekang, dan berderap pergi. Eragon membungkuk rendah di atas Cadoc mengikutinya. Mereka nyaris bertabrakan beberapa kali sela, perjalanan yang liar dan berbahaya itu, menerobos kerumunan orang yang menyesaki jalan sementara mereka mendekati dinding kota. Sewaktu gerbang akhirnya terlihat, Eragon menarik kekang Cadoc dengan jengkel. Gerbang itu telah setengah tertutup, dan dua baris prajurit bertombak menghalangi jalan mereka.
"Mereka akan mencincang kita habis-habisan!" serunya. "Kita harus mencobanya," kata Brom, suaranya kaku. "Akan kutangani orang-orang itu, tapi kau harus mengusahakan gerbang tetap terbuka bagi kita."
Eragon mengangguk, mengertakkan gigi, danmenjejakkan tumit ke Cadoc.
Mereka menerjang barisan prajurit yang tidak goyah itu, yang menurunkan tombak hingga sejajar dada kuda-kuda Eragon dan Brom lalu menumpukannya ke tanah. Sekalipun kuda-kuda mendengus ketakutan, Eragon dan Brom memaksa mereka terus maju. Eragon mendengar para prajurit itu berteriak tapi tetap memusatkan perhatian pada gerbang yang perlahan-lahan menutup.
Saat mereka mendekati tombak-tombak yang tajam tersebut, Brom mengangkat tangan dan berbicara. Kata-katanya terlontar dengan tepat, para prajurit itu berjatuhan ke kedua sisi seakan kaki mereka dibabat. Celah di gerbang semakin menyusut setiap detiknya. Berharap usahanya tidak akan terlalu menguras tenaga, Eragon mengerahkan kekuatannya dan berteriak, Du grind huildr!"
Deritan keras terdengar dari gerbang-gerbang yang bergetar lalu berhenti. Kerumunan orang dan prajurit terdiam, menatap terpesona. Diiringi deru, ladam kuda, Brom dan Eragon melesak keluar dari balik dinding-dinding Dras-Leona. Begitu mereka bebas, Eragon melepaskan gerbangnya. Gerbang-gerbang itu bergetar, lalu berdebum menutup. 
Ia goyah akibat kelelahan yang telah diduganya bakal menyerang tapi berhasil mempertahankan diri di atas kuda. Brom mengawasinya dengan prihatin. Pelarian mereka belum melewati tepi Dras-Leona sementara terompet peringatan menjerit melengking di dinding-dinding kota. Saphira menanti merka di tepi kota, tersembunyi di balik pepohonan. Matanya membara; ekornya melecut ke sana kemari. "Pergi, tunggangi Saphira," kata Brom. "Dan kali ini tetaplah di udara, apa pun yang terjadi padaku. Aku akan ke selatan. Terbanglah di dekatku; aku tidak peduli Saphira terlihat atau tidak." Eragon bergegas naik ke bahu Saphira. Sementara tanah menjauh di bawah mereka, ia mengawasi Brom berderap di sepanjang jalan.
Kau baik-baik saja? tanya Saphira.
Ya, kata Eragon. Tapi hanya karena kami sangat beruntung.
Asap mengepul dari cuping hidung Saphira. Sepanjang waktu yang kita habiskan untuk mengejar Ra'zac ternyata sia-sia.
Aku tahu, kata Eragon, sambil menyandarkan kepalanya ke sisik Saphira. Kalau saja Ra'zac satu-satunya musuh yang ada di sana tadi, aku pasti tetap tinggal dan melawan, tapi dengan adanya semua prajurit di pihak mereka, pertempurannya sama sekali tidak bisa dikatakan seimbang.
Kau mengerti akan ada pembicaraan mengenai kita sekarang? Ini tidak bisa dikatakan pelarian yang tidak kentara. Menghindari Kekaisaran bakal jauh lebih sulit lagi setelah itu. Ada sesuatu dalam suara Saphira yang tidak biasa didengar Eragon.
Aku tahu.
Mereka terbang rendah dan cepat di atas jalan. Danau Leona mengecil di belakang mereka; tanah menjadi kering dan berbatu-batu dan dipenuhi sesemakan yang kokoh dan tajam serta pepohonan kaktus yang tinggi. Awan menggelapkan langit. Kilat menyambar di kejauhan. Saat angin mulai melolong, Saphira menukik tajam ke arah Brom.
Brom menghentikan kuda dan bertanya, "Ada apa?"
anginnya terlalu kencang."
"Tidak seburuk itu," Brom memprotes.
"Buruk bagi orang yang berada di atas sana," kata Eragon, sambil menunjuk langit.
Brom memaki dan menyerahkan kekang Cadoc pada Eragon.
Mereka berderap pergi diikuti Saphira yang berjalan kaki,
sekalipun di tanah ia sulit mengejar kuda-kuda.
Angin semakin kencang, melontarkan tanah ke udara dan berputar-putar. Mereka melilitkan syal di kepala untuk melindungi mata. Mantel Brom berkibar-kibar ditiup angin sementara janggutnya melecut-lecut seakan memiliki nyawa sendiri. Walaupun mereka akan sengsara karenanya, Eragon berharap hujan turun agar jejak mereka terhapus.
Tidak lama kemudian kegelapan memaksa mereka berhenti. Dengan hanya dibimbing bintang-bintang, mereka meninggalkan jalan dan berkemah di balik dua batu. Terlalu berbahaya untuk menyalakan api unggun, jadi mereka menyantap makananya dingin sementara Saphira melindungi mereka dari angin.
Sesudah makan malam yang sedikit, Eragon bertanya lugas, "Bagaimana mereka bisa menemukan kita?"
Brom hendak menyalakan pipa, tapi berpikir lagi dan menyimpannya. "Salah seorang pelayan istana memperingatkan aku ada mata-mata di antara mereka. Entah bagaimana berita mengenai diriku dan pertanyaan-pertanyaanku pasti didengar Tabor... dan melalui dirinya, Ra'zac."
"Kita tidak bisa kembali ke Dras-Leona, bukan?" tanya Eragon.
Brom menggeleng. "Tidak selama beberapa tahun."
Eragon memegangi kepalanya. "Kalau begitu apa sebaiknya kita pancing Ra'zac keluar? Kalau kita biarkan Saphira terlihat, mereka akan segera mendatangi tempat di mana pun Saphira berada."
"Dan sewaktu mereka melakukannya, akan ada lima puluh prajurit yang menemani mereka," kata Brom. "Pokoknya, sekarang bukan waktunya mendiskusikan hal itu. Sekarang ini kita harus memusatkan perhatian pada bertahan hidup. Malam itu akan menjadi malam yang paling berbahaya karena Ra'zac akan memburu kita dalam kegelapan, saat mereka paling kuat. Kita harus bergantian berjaga hingga pagi.
"Baik," kata Eragon, sambil beranjak bangkit. Ia ragu-ragu dan menyipitkan mata. Pandangannya menangkap gerakan sekilas, sepetak kecil warna yang tampak mencolok dalam pemandangan malam disekitarnya. Ia melangkah ke tepi perkemahan mereka, mencoba melihatnya lebih jelas.
"Ada apa?" tanya Brom sambil membuka gulunggan selimut.
Eragon menatap kegelapan, lalu berbalik kembali. "Entahlah. Kukira ada yang kulihat. Pasti burung." Rasa sakit meledak di bagian belakang kepalanya, dan Saphira meraung. Lalu Eragon jatuh ke tanah, pingsan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar