Eragon (Bab 34)
28 November
2013 pukul 20:25
PARA PEMUJA
HELGRIND
Eragon
sendirian di kamar sewaktu terjaga. Di dinding terdapat tulisan dengan arang
yang berbunyi:
Eragon, Aku
akan pergi hingga larut malam ini. Uang untuk membeli makanan ada di bawah
kasur. jelajahilah kota, bersenang-senanglah, tapi jangan menarik perhatian!
Brom
N.B. Hindari
istana. Jangan pergi ke mana pun tanpa busurmu! Pasang talinya.
Eragon
bergegas untuk membersihkan bekas coretan pesan yang tertera di dinding, lalu
mengambil uang dari bawah kasur. Ia melintangkan busurnya di punggung, sambil
berpikir, Kalau saja aku tidak harus membawa senjata setiap saat...
Ia
meninggalkan Golden Globe dan menyusuri jalan, berhenti untuk mengamati apa pun
yang menarik perhatiannya. Banyak toko yang menarik, tapi tidak satu pun
memesona seperti toko tanaman obat Angela di Teirm. Terkadang ia memandangi
rumah-rumah yang gelap dan sesak lalu berharap untuk segera bisa meninggalkan
kota ini. Sewaktu perutnya merasa lapar, ia membeli sepotong keju dan sebongkah
roti lalu menyantapnya sambil duduk di tepi jalan.
Kemudian, di
sudut jauh Dras-Leona, ia mendengar juru mengumumkan sederetan harga. Karena
penasaran, ia berjalan ke arah asal suara itu dan tiba di celah lebar di antara
dua bangunan. Sepuluh orang berdiri di panggung setinggi pinggang orang dewasa.
Di depan mereka telah berkerumun orang-orang berpakaian mewah yang
berwarna-warni mencolok. Mana barang yang akan di jual? pikir Eragon penasaran.
Lelang selesai memberitahukan harga-harganya dan memberi isyarat memanggil
pemuda di belakang panggung untuk bergabung dengannya. Pemuda itu berjalan naik
dengan kikuk, rantai mengikat tangan dan kakinya. "Dan ini barang pertama
kita," seru juru lelang. "Pemuda yang sehat dari Padang Pasir
Hadarac, baru ditangkap bulan lalu, dan dalam kondisi yang sangat bagus. Lihat
lengan dan kakinya; ia sekuat kerbau! Ia sempurna sebagai pembawa perisai,
atau, kalau Anda tidak memercayainya untuk itu, kerja keras. Tapi kuberitahu,
tuan-tuan dan nyonya-nyonya, itu bakal jadi penyia-nyiaan. Ia sangat cerdas,
kalau Anda bisa membuatnya berbicara secara beradab!"
Kerumunan
orang tertawa, dan Eragon mengertakkan gigi karena murka. Bibirnya bergerak
menyusun kata-kata yang akan membebaskan budak tersebut, dan lengannya, yang
baru saja dibebaskan dari pembalut, terangkat. Tanda di telapak tangannya
berpendar. Ia hendak melepaskan sihirnya sewaktu kesadaran melintas dalam
benaknya, Ia tidak akan bisa meloloskan diri! Budak itu akan tertangkap sebelum
mencapai dinding kota. Eragon hanya akan memperburuk situasinya kalau ia
mencoba membantu. Ia menurunkan lengan dan memaki diam-diam. Pikir! Beginilah
caramu mendapat masalah dengan para Urgal.
Ia mengawasi
tanpa daya waktu budak itu terjual kepada pria jangkung berhidung elang. Budak
berikutnya gadis kecil, tidak lebih dari enam tahun, dirampas dari tangan
ibunya yang menangis. Sementara juru lelang memulai pelelangan, Eragon memaksa
diri untuk berlalu, kaku karena murka dan marah.
Setelah
berada beberapa blok dari tempat itu, barulah ia mulai menangis. Aku ingin ada
pencuri yang mencoba mengambil dompetku sekarang, pikirnya muram, nyaris
berharap itu benar-benar terjadi. Dengan perasaan frustrasi, ia meninju dinding
di dekatnya, melukai buku-buku jemarinya.
Hal-hal
seperti Itulah yang bisa kulakukan dengan melawan. Kekaisaran, pikirnya
tersadar. Dengan didampingi Saphira aku bisa membebaskan budak-budak itu. Aku
dikaruniai kekuatan khusus, aku akan egois kalau tidak menggunakan kekuatan itu
demi orang lain. Kalau tidak, lebih baik aku tidak menjadi Penunggang sama
sekali.
Baru
beberapa saat kemudian ia berusaha mengenali tempat ia berada dan terkejut
mendapati dirinya di depan katedral, Menara-menaranya yang berputar tertutup
berbagai pahatan dan ukiran. Gargoyle-gargoyle yang menyeringai berjongkok di
sepanjang langkah. Makhluk-makhluk buas yang fantastis menggeliat dan
menyeringai di dinding-dindingnya, dan para pahlawan serta raja berbaris di
sepanjang tepi dasarnya, membeku dalam marmer dingin. Lengkungan-lengkungan
berusuk dan jendela-jendela kaca berwarna yang tinggi berjajar di sisi
katedral, bersama tiang-tiang yang berbeda ukuran. Menara patroli menjulang
sendirian di bangunan itu bagai tiang kapal.
Dalam ceruk
remang-remang di bagian depan katedral terdapat pintu besi dengan sederetan
tulisan perak yang dikenali Eragon sebagai bahasa kuno. Tulisan itu, menurut
kemampuan membacanya, berbunyi: Biarlah siapa pun yang memasuki tempat ini
memahami ketidak abadiannya dan melupakan keterikatannya dengan apa yang
dikasihnya.
Seluruh
bangunan itu menyebabkan Eragon menggigil. Ada sesuatu yang mengancam pada
bangunan itu, seakan bangunan tersebut hewan pemangsa yang mengintai di kota,
menunggu korban berikut.
Sederet anak
tangga lebar berbaris ke pintu masuk katedral, Eragon dengan khidmat
mendaikinya dan berhenti di depan pintu. Aku ingin tahu apakah aku bisa masuk
Nyaris dengan perasaan bersalah ia mendorong pintunya. Pintu itu terayun
membuka dengan halus, meluncur pada engsel-engselnya yang diminyaki. Ia melangkah
masuk.
Kesunyian
makam yang terlupakan mengisi katedral yang kosong itu. Udara terasa dingin dan
kering. Dinding-dinding telanjang menjulang hingga ke langit-langit cekung yang
tinggi hingga Eragon merasa sekecil semut. Jendela-jendela kaca berwarna yang
menggambarkan adegan kemarahan, kebencian, dan penyesalan menghiasi dindingnya,
sementara berkas-berkas cahaya menerangi beberapa deretan bangku dari granit
dengan warna kelabu transparan, meninggalkan sisanya dalam bayang-bayang. Kedua
tangan Eragon bagai terbungkus cahaya biru tua.
Di antara
jendela-jendela terdapat beberapa patung dengan mata yang pucat dan kaku. Ia
membalas tatapan mereka, lalu perlahan-lahan menyusuri lorong tengah, takut
memecahkan kesunyian di sana. Sepatu bot kulitnya berderap tanpa suara di
lantai batu licin.
Altarnya
terbuat dari sebongkah batu besar tanpa hiasan apapun. Seberkas cahaya jatuh ke
sana, menerangi bintik-bintik debu keemasan yang melayang di udara. Di belakang
altar, pipa-pipa orgel menembus langit-langit dan membuka diri pada
elemen-elemen alam. Instrumen itu akan memainkan musiknya hanya kalau badai
mengguncang Dras-Leona.
Karena
menghormatinya, Eragon berlutut di depan altar dan menundukkan kepala. Ia tidak
berdoa tapi memberi hormat pada katedral itu sendiri. Penderitaan hidup
berbagai orang yang telah disaksikan bangunan itu, juga kejadian-kejadian rumit
yang berlangsung di sela dinding-dindingnya, terpancar dari bebatuan di sana.
Tempat itu terlarang, telanjang, dan dingin. Tapi dalam sentuhan dingin itu sekilas
terlihat keabadian dan mungkin kekuatan-kekuatan yang berada di sana.
Akhirnya
Eragon mengangkat kepala dan bangkit. Dengan tenang dan serius, ia berbisik
sendiri dalam bahasa kuno, lalu berbalik pergi. Ia membeku. Jantungnya bagai
terlonjak, berdebam-debam seperti drum.
Ra'zac
berdiri di pintu masuk katedral, memandangi dirinya. Pedang mereka teracung,
tepinya yang tajam bagai berlumuran darah ketika kena cahaya kemerahan. Ra'zac
yang lebih kecil mendesis. Tidak satu pun dari mereka berdua bergerak.
Kemurkaan
menggelegak dalam diri Eragon. Ia sudah mengejar Ra'zac begitu lama hingga
penderitaan akibat pembunuhan yang mereka lakukan telah mereda dalam dirinya.
Tapi pembalasan dendam ada di depan mata. Kemurkaannya meledak bagai kawah
gunung berapi, semakin besar akibat perdagangan budak yang disaksikannya.
Raungan terlontar dari mulutnya, menggema bagai badai sementara ia mengambil
busur dari punggung. Dengan sigap ia memasang anak panah di busur dan
menembakkannya. Dua anak panah lagi menyusul sesaat kemudian.
Ra'zac
melompat menjauhi anak-anak panah itu dengan kesigapan yang tidak manusiawi.
Mereka mendesis sambil berlari menyusuri lorong di sela bangku-bangku, mantel
mereka berkibar-kibar bagai sayap gagak. Eragon meraih anak panahnya tapi sikap
hati-hati menahan tangannya. Kalau mereka mengetahui di mana bisa menemukan
diriku. Brom juga terancam bahaya! Aku harus memperingatkannya! Lalu, yang
memicu kengerian Eragon, barisan prajurit memasuki katedral, dan sekilas ia
melihat lautan seragam berdesakan di luar ambang pintu.
Eragon
menatap Ra'zac yang menerjang maju dengan pandangan ganas, lalu berputar,
mencari jalan untuk melarikan diri. Ruang kecil di sebelah kiri altar menarik
perhatiannya. Ia berlari melewati pintu melengkung dan menyusuri koridor yang
menuju tempat tinggal pendeta. Detakan langkah Ra'zac di belakangnya
menyebabkan ia mempercepat lari hingga lorong tiba-tiba berakhir pada pintu
tertutup.
Ia
memukul-mukulnya, berusaha mendobraknya, tapi kayunya terlalu kuat. Ra'zac
nyaris tiba di tempatnya. Dengan panik, ia menghela napas dan meraung,
"Jierda!" Diiringi kilasan cahaya, pintunya hancur berkeping-keping
ke lantai. Eragon melompat masuk ke ruang kecil dan terus berlari.
Ia melesat
melewati beberapa ruangan, mengejutkan sekelompok pendeta. Teriakan dan makian
mengikuti kepergiannya. Lonceng tempat tinggal pendeta meneriakkan peringatan
Eragon menerobos memasuki dapur, melewati sepasang biarawan, lalu menyelinap
keluar melalui pintu samping. Ia berhenti di taman yang dikelilingi dinding bata
tinggi tanpa tonjolan untuk pegangan. Tidak ada jalan keluar lain yang dapat
memberinya peluang kali ini.
Eragon
berbalik hendak pergi, tapi terdengar desisan pelan sementara Ra'zac menerobos
pintu. Dengan putus asa, ia bergegas mendekati dinding, lengannya bergerak
cepat. Sihir tidak bisa membantunya di sini kalau ia menggunakan sihir untuk
menghancurkan dinding tebal, ia akan terlalu lelah untuk melarikan diri.
Ia melompat.
Bahkan dengan kedua lengan terulur, hannya ujung jemarinya yang menyapu puncak
dinding. Bagiannya yang lain terempas ke bata, menyentakkan napasnya Eragon
tersentak dan tergantung di sana, berjuang keras untuk tidak jatuh. Ra'zac
masuk ke taman, berpaling ke sana kemari seperti anjing pemburu yang
mengendus-endus mangsa.
Eragon
merasakan kehadiran mereka yang semakin dekat dan mengangkat tubuhnya. Bahunya
kesakitan hebat saat ia memanjat dinding dan menjatuhkan diri di baliknya. Ia
terhuyung, lalu keseimbangannya pulih dan ia melesat memasuki lorong sempit
tepat pada saat Ra'zac melompati dinding. Dengan membulatkan tekad, Eragon
kembali berlari sekuat tenaga.
Ia berlari
selama lebih dari satu mil sebelum terpaksa berhenti untuk menenangkan napas.
Tidak yakin apakah berhasil lolos dari Ra'zak. Ia menemukan pasar yang penuh
sesak dan menunduk ke bawah kereta yang diparkir. Bagaimana mereka bisa
menemukan diriku? pikirnya penasaran, napasnya terengah-engah. Mereka
seharusnya tidak mengetahui di mana aku berada... kecuali ada yang terjadi pada
Brom! Ia menjangkau Saphira dengan pikirannya dan berkata, Ra'zac menemukan
diriku. Kita semua terancam bahaya! Periksa Brom apakah Ia baik-baik saja.
Kalau iya, peringatkan dirinya dan minta Ia menemui aku di penginapan. Dan
bersiap-siaplah terbang kemari secepat mungkin. Kami mungkin membutuhkan bantuanmu
untuk melarikan diri.
Saphira
membisu, lalu berkata singkat, Ia akan menemuimu di penginapan. jangan berhenti
bergerak; kau terancam bahaya besar.
"Memangnya
aku tidak tahu?" gumam Eragon sambil berguling keluar dari bawah kereta.
Ia bergegas kembali ke Golden Globe, dengan cepat mengemasi barang-barang
mereka, memasang pelana kuda-kuda, lalu membimbing kedua hewan itu ke jalan.
Brom tiba tidak lama kemudian, membawa tongkat, merengut berbahaya. Ia naik ke
punggung Snowfire dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Aku
ada di katedral sewaktu Ra'zac tiba-tiba muncul di belakangku," kata
Eragon, sambil naik ke punggung Cadoc. "Aku berlari kemari secepat
mungkin, tapi mereka bisa tiba disana setiap saat. Saphira akan menggabungkan
diri dengan kita untuk segera pergi begitu kita berada di luar
Dras-Leona."
"Kita
harus keluar dari dinding kota sebelum mereka menutup gerbang-gerbang, kalau
mereka belum menutupnya," kata Brom. "Kalau mereka sudah menutupnya,
akan sangat mustahil bagi kita untuk pergi. Apa pun yang kau lakukan, jangan
terpisah dariku." Eragon mengejang saat sekelompok prajurit berderap
mendekat dari salah satu ujung jalan.
Brom memaki,
melecut snowfire dengan kekang, dan berderap pergi. Eragon membungkuk rendah di
atas Cadoc mengikutinya. Mereka nyaris bertabrakan beberapa kali sela,
perjalanan yang liar dan berbahaya itu, menerobos kerumunan orang yang
menyesaki jalan sementara mereka mendekati dinding kota. Sewaktu gerbang
akhirnya terlihat, Eragon menarik kekang Cadoc dengan jengkel. Gerbang itu telah
setengah tertutup, dan dua baris prajurit bertombak menghalangi jalan mereka.
"Mereka
akan mencincang kita habis-habisan!" serunya. "Kita harus
mencobanya," kata Brom, suaranya kaku. "Akan kutangani orang-orang
itu, tapi kau harus mengusahakan gerbang tetap terbuka bagi kita."
Eragon
mengangguk, mengertakkan gigi, danmenjejakkan tumit ke Cadoc.
Mereka
menerjang barisan prajurit yang tidak goyah itu, yang menurunkan tombak hingga
sejajar dada kuda-kuda Eragon dan Brom lalu menumpukannya ke tanah. Sekalipun
kuda-kuda mendengus ketakutan, Eragon dan Brom memaksa mereka terus maju.
Eragon mendengar para prajurit itu berteriak tapi tetap memusatkan perhatian
pada gerbang yang perlahan-lahan menutup.
Saat mereka
mendekati tombak-tombak yang tajam tersebut, Brom mengangkat tangan dan
berbicara. Kata-katanya terlontar dengan tepat, para prajurit itu berjatuhan ke
kedua sisi seakan kaki mereka dibabat. Celah di gerbang semakin menyusut setiap
detiknya. Berharap usahanya tidak akan terlalu menguras tenaga, Eragon
mengerahkan kekuatannya dan berteriak, Du grind huildr!"
Deritan
keras terdengar dari gerbang-gerbang yang bergetar lalu berhenti. Kerumunan
orang dan prajurit terdiam, menatap terpesona. Diiringi deru, ladam kuda, Brom
dan Eragon melesak keluar dari balik dinding-dinding Dras-Leona. Begitu mereka
bebas, Eragon melepaskan gerbangnya. Gerbang-gerbang itu bergetar, lalu
berdebum menutup.
Ia goyah
akibat kelelahan yang telah diduganya bakal menyerang tapi berhasil
mempertahankan diri di atas kuda. Brom mengawasinya dengan prihatin. Pelarian
mereka belum melewati tepi Dras-Leona sementara terompet peringatan menjerit
melengking di dinding-dinding kota. Saphira menanti merka di tepi kota,
tersembunyi di balik pepohonan. Matanya membara; ekornya melecut ke sana
kemari. "Pergi, tunggangi Saphira," kata Brom. "Dan kali ini
tetaplah di udara, apa pun yang terjadi padaku. Aku akan ke selatan. Terbanglah
di dekatku; aku tidak peduli Saphira terlihat atau tidak." Eragon bergegas
naik ke bahu Saphira. Sementara tanah menjauh di bawah mereka, ia mengawasi
Brom berderap di sepanjang jalan.
Kau
baik-baik saja? tanya Saphira.
Ya, kata
Eragon. Tapi hanya karena kami sangat beruntung.
Asap
mengepul dari cuping hidung Saphira. Sepanjang waktu yang kita habiskan untuk
mengejar Ra'zac ternyata sia-sia.
Aku tahu,
kata Eragon, sambil menyandarkan kepalanya ke sisik Saphira. Kalau saja Ra'zac
satu-satunya musuh yang ada di sana tadi, aku pasti tetap tinggal dan melawan,
tapi dengan adanya semua prajurit di pihak mereka, pertempurannya sama sekali
tidak bisa dikatakan seimbang.
Kau mengerti
akan ada pembicaraan mengenai kita sekarang? Ini tidak bisa dikatakan pelarian
yang tidak kentara. Menghindari Kekaisaran bakal jauh lebih sulit lagi setelah
itu. Ada sesuatu dalam suara Saphira yang tidak biasa didengar Eragon.
Aku tahu.
Mereka
terbang rendah dan cepat di atas jalan. Danau Leona mengecil di belakang
mereka; tanah menjadi kering dan berbatu-batu dan dipenuhi sesemakan yang kokoh
dan tajam serta pepohonan kaktus yang tinggi. Awan menggelapkan langit. Kilat
menyambar di kejauhan. Saat angin mulai melolong, Saphira menukik tajam ke arah
Brom.
Brom
menghentikan kuda dan bertanya, "Ada apa?"
anginnya
terlalu kencang."
"Tidak
seburuk itu," Brom memprotes.
"Buruk
bagi orang yang berada di atas sana," kata Eragon, sambil menunjuk langit.
Brom memaki
dan menyerahkan kekang Cadoc pada Eragon.
Mereka
berderap pergi diikuti Saphira yang berjalan kaki,
sekalipun di
tanah ia sulit mengejar kuda-kuda.
Angin
semakin kencang, melontarkan tanah ke udara dan berputar-putar. Mereka
melilitkan syal di kepala untuk melindungi mata. Mantel Brom berkibar-kibar
ditiup angin sementara janggutnya melecut-lecut seakan memiliki nyawa sendiri.
Walaupun mereka akan sengsara karenanya, Eragon berharap hujan turun agar jejak
mereka terhapus.
Tidak lama
kemudian kegelapan memaksa mereka berhenti. Dengan hanya dibimbing
bintang-bintang, mereka meninggalkan jalan dan berkemah di balik dua batu.
Terlalu berbahaya untuk menyalakan api unggun, jadi mereka menyantap makananya
dingin sementara Saphira melindungi mereka dari angin.
Sesudah
makan malam yang sedikit, Eragon bertanya lugas, "Bagaimana mereka bisa
menemukan kita?"
Brom hendak
menyalakan pipa, tapi berpikir lagi dan menyimpannya. "Salah seorang
pelayan istana memperingatkan aku ada mata-mata di antara mereka. Entah
bagaimana berita mengenai diriku dan pertanyaan-pertanyaanku pasti didengar
Tabor... dan melalui dirinya, Ra'zac."
"Kita
tidak bisa kembali ke Dras-Leona, bukan?" tanya Eragon.
Brom
menggeleng. "Tidak selama beberapa tahun."
Eragon
memegangi kepalanya. "Kalau begitu apa sebaiknya kita pancing Ra'zac
keluar? Kalau kita biarkan Saphira terlihat, mereka akan segera mendatangi
tempat di mana pun Saphira berada."
"Dan
sewaktu mereka melakukannya, akan ada lima puluh prajurit yang menemani
mereka," kata Brom. "Pokoknya, sekarang bukan waktunya mendiskusikan
hal itu. Sekarang ini kita harus memusatkan perhatian pada bertahan hidup.
Malam itu akan menjadi malam yang paling berbahaya karena Ra'zac akan memburu
kita dalam kegelapan, saat mereka paling kuat. Kita harus bergantian berjaga
hingga pagi.
"Baik,"
kata Eragon, sambil beranjak bangkit. Ia ragu-ragu dan menyipitkan mata.
Pandangannya menangkap gerakan sekilas, sepetak kecil warna yang tampak
mencolok dalam pemandangan malam disekitarnya. Ia melangkah ke tepi perkemahan
mereka, mencoba melihatnya lebih jelas.
"Ada
apa?" tanya Brom sambil membuka gulunggan selimut.
Eragon
menatap kegelapan, lalu berbalik kembali. "Entahlah. Kukira ada yang
kulihat. Pasti burung." Rasa sakit meledak di bagian belakang kepalanya,
dan Saphira meraung. Lalu Eragon jatuh ke tanah, pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar