Eragon (Bab 31)
28 November
2013 pukul 20:19
AHLI PEDANG
Keesokan
harinya lebih mudah bagi mereka berdua, Eragon merasa lebih baik dan mampu
menjawab lebih banyak pertanyaan Brom dengan benar. Sesudah latihan yang sangat
sulit, Eragon menyinggung mengenai scrying yang dilakukannya atas wanita itu.
Brom menarik-narik janggutnya. "Katamu ia dipenjara?"
"Ya."
"Kau
melihat wajahnya?" Brom bertanya penuh minat.
"Tidak
terlalu jelas. Pencahayaannya buruk, tapi aku bisa mengetahui ia cantik. Aneh;
aku tidak menemui masalah untuk memandang matanya. Dan ia memang melihat
padaku."
Brom
menggeleng. "Sepanjang yang kuketahui, mustahil bagi siapa pun untuk
mengetahui ada yang melakukan scrying atas dirinya."
"Kau
tahu siapa wanita tersebut?" tanya Eragon, terkejut mendengar, semangat
dalam suaranya sendiri.
"Tidak
juga," Brom mengakui. "Kalau didesak, kurasa aku bias-bisa mengajukan
beberapa tebakan, tapi tidak satu pun jadi kemungkinan besar. Mimpimu ini aneh.
Entah bagaimana kau berhasil melakukan scrying dalam tidurmu atas sesuatu yang
belum pernah kaulihat tanpa mengucapkan kata-kata kekuatan. Mimpi sesekali
bersentuhan dengan alam roh, tapi yang ini berbeda."
"Mungkin
untuk memahaminya kita harus menggeledah setiap penjara dan sel bawah tanah
hingga kita menemukan wanita ini," kata Eragon. Ia benar-benar menganggap
pikiran itu gagasan bagus. Brom tertawa dan terus berjalan.
Latihan
berat Brom mengisi nyaris setiap jam seiring berubahnya hari demi hari dengan
lambat menjadi minggu. Karena beratnya pembalut lukanya, Eragon terpaksa
menggunakan tangan kiri setiap kali mereka berlatih tanding. Dalam waktu singkat
ia bisa berduel dengan tangan kiri sebaik dengan tangan kanan.
Saat mereka
menyeberangi Spine dan tiba di dataran, musim semi mulai memasuki Alagaesia,
menghadirkan berbagai jenis bunga. Pepohonan yang gundul sekarang tampak
kemerahan dengan kuntum-kuntum, sementara pucuk rerumputan mulai menerobos di
sela-sela batang lamanya yang mati. Burung-burung kembali dari kepergian mereka
di musim dingin untuk kawin dan membangun sarang.
Para
pengelana itu mengikuti Sungai Toark ke arah tenggara, di sepanjang tepi Spine.
Sungai Toark semakin lama semakin besar seiring mengalirnya sungai-sungai kecil
dari setiap sisi, memperbesar arus airnya yang menggelegak. Sewaktu sungai itu
telah tiga mil lebih lebarnya, Brom menunjuk pulau-pulau endapan lumpur yang
tampak di sungai. "Kita mendekati Danau Leona sekarang," katanya.
"Kurang dari enam mil lagi."
"Menurutmu
kita bisa tiba di sana sebelum malam?" tanya Eragon.
"Bisa
dicoba."
Senja dalam
waktu singkat menyebabkan jalan setapak sulit ditelusuri, tapi suara sungai di
samping mereka membimbing mereka. Sewaktu bulan terbit, piringan yang terang
itu memberikan cukup cahaya bagi mereka untuk melihat apa yang ada di depan.
Danau Leona
tampak seperti sehelai perak tipis yang dihamparkan di tanah. Airnya begitu
tenang dan rata hingga tidak tampak seperti cairan. Kalau tidak ada pantulan
cahaya bulan di permukaannya danau itu tidak bisa dibedakan dari tanah.
Saphira
berdiri di tepinya yang berkarang, mengepak-kepakkan sayap untuk mengeringkan
karang-karang itu. Eragon menyapanya dan Saphira berkata, Airnya
menyenangkan-dalam, sejuk, dan jernih.
Mungkin aku
akan berenang besok, jawab Eragon. Mereka mendirikan kemah di bawah sekelompok
pepohonan dan tidak lama kemudian tertidur.
Saat subuh,
Eragon dengan penuh semangat bergegas keluar untuk melihat danau di bawah
cahaya siang. Hamparan air yang luas dengan riak berpucuk putih tampak menyebar
dalam, bentuk kipas di tempat angin menyapunya. Luasnya danau semata
menyebabkan ia merasa gembira. Ia berteriak dan berlari ke air. Saphira, kau di
mana? Ayo bersenang-senang!
Begitu
Eragon naik ke punggungnya, Saphira melompat ke atas air. Mereka membubung,
berputar-putar di atas danau, tapi bahkan pada ketinggian itu pantai seberang
masih tidak terlihat. Kau mau mandi? tanya Eragon santai pada Saphira.
Saphira
menyeringai jahat. Berpegangan! Ia mengunci sayap-sayapnya dan terjun ke air,
menyentuh pucuk-pucuk ombak dengan cakar. Air tampak kemilau ditimpa cahaya
matahari saat mereka terbang rendah di atasnya. Eragon kembali berteriak. Lalu
Saphira melipat sayap-sayapnya dan terjun ke danau, kepala dan lehernya masuk
lebih dulu bagai tombak.
Airnya
menghantam Eragon seperti dinding es, menyentakkan napasnya dan nyaris
melemparkannya dari punggung Saphira. Ia berpegangan erat-erat sementara
Saphira berenang ke permukaan. Dengan tiga ayunan kaki, ia muncul di permukaan
dan menghamburkan air ke langit. Eragon tersentak dan menggeleng-gelengkan
kepala menyingkirkan air dari rambutnya, sementara Saphira berenang membelah
danau, menggunakan ekor sebagai kemudi.
Siap? Eragon
mengangguk dan menghelanapas dalam, mempererat pelukannya. Kali ini mereka
masuk ke air dengan lembut. Mereka bisa melihat hingga ber-yard-yard jauhnya
menembus cairan yang jernih itu. Saphira berputar dalam bentuk-bentuk yang
fantastis, menyelinap di air seperti belut. Eragon merasa seperti menunggang
ular laut dalam legenda.
Tepat saat
paru-parunya menjerit minta udara, Saphira melengkungkan punggung dan
mengarahkan kepala ke atas. Tetesan-tetesan air berhamburan mengelilingi mereka
saat Saphira melompat ke udara, sayapnya tersentak membuka.
Dengan dua
kepakan yang kuat ia membubung.
Wow., Luar
biasa, seru Eragon.
Ya, kata
Saphira gembira. Walaupun sayang sekali kau tidak bisa menahan napas lebih
lama.
Tidak ada
yang bisa kulakukan untuk mengubahnya, kata
Eragon,
sambil mengeringkan air dari rambutnya. Pakaiannya basah kuyup, dan angin dari
sayap-sayap Saphira menyebabkan ia menggigil. Ia menarik-narik pembalut
lukanya, pergelangan tangannya terasa gatal.
Begitu
Eragon telah kering, ia dan Brom memasang pelana kuda-kuda dan berangkat
mengitari Danau Leona dengan semangat tinggi sementara Saphira menyelam dan
keluar lagi, bermain-main.
Sebelum
makan malam, Eragon melindungi bilah Zar'roc sebagai persiapan latih tanding
mereka seperti biasa. Baik ia maupun Brom tidak bergerak sementara mereka
saling menunggu siapa yang menyerang lebih dulu. Eragon memeriksa sekitarnya,
mencari-cari apa pun yang mungkin bisa menguntungkan dirinya. Sebatang ranting
di dekat api menarik perhatiannya.
Eragon menyapu
ke bawah, menyambar ranting itu, dan melemparkannya kepada Brom. Tapi pembalut
luka membatasi gerakannya, dan Brom dengan mudah menghindari potongan kayu
tersebut. Pria tua itu bergegas maju, mengayunkan pedang. Eragon merunduk tepat
pada saatnya hingga pedang itu hanya mendesing di atas kepalanya. Ia menggeram
dan menyerang Brom dengan buas.
Mereka
bertarung hingga bergulingan di tanah, masing-masing berusaha berada di atas
angin. Eragon berguling ke samping dan menyapukan Zar'roc di atas tanah, mengincar
tulang kering Brom. Brom menangkis pukulan itu dengan tangkai pedang, lalu
melompat bangkit. Berdiri sambil berputar, Eragon kembali menyerang,
mengayun-ayunkan Zar'roc dalam serangkaian pola yang rumit. Bunga api
menari-nari dari pedangng mereka saat beradu berulang kali. Brom menangkis
setiap pukulan, wajahnya tampak tegang karena berkonsentrasi. Tapi Eragon bisa
melihat Brom mulai kelelahan. Serangan tanpa henti yang dilakukannya terus
berlanjut sementara masing-masing mencari celah dalam pertahanan lawan.
Lalu Eragon
merasakan pertempuran berubah. Seiring setiap pukulan ia semakin di atas angin.
Tangkisan Brom melambat dan ia kehilangan kekuatan. Eragon dengan mudah
menangkis tusukan Brom. Pembuluh darah berdenyut-denyut di kening pria tua itu
dan otot-otot bertonjolan di lehernya karena pengerahan tenaga.
Tiba-tiba
percaya diri, Eragon mengayunkan Zar'roc lebih cepat daripada biasanya,
menjalin jala-jala baja di sekitar pedang Brom. Dengan sentakan peningkatan
kecepatan, ia menghantamkan sisi pedangnya ke pertahanan Brom dan menjatuhkan
pedang Brom ke tanah. Sebelum orang tua tersebut sempat bereaksi, Eragon
mengacungkan Zar'roc ke tenggorokannya.
Mereka
berdiri terengah-engah, ujung pedang merah menempel pada tulang bahu Brom.
Eragon perlahan-lahan menurunkan senjata dan mundur. Untuk pertama kalinya ia
berhasil mengalahkan Brom tanpa mengandalkan tipuan. Brom mengambil pedang dan
menyarungkannya. Sambil masih terengah-engah, ia berkata, "Kita selesai
untuk hari ini."
"Tapi
kita baru saja mulai," kata Eragon, terkejut.
Brom
menggeleng. "Tidak ada lagi yang bisa kuajarkan padamu dalam hal pedang.
Di antara semua pejuang yang pernah kuhadapi, hanya tiga di antaranya yang bisa
mengalahkan diriku seperti tadi, dan aku ragu ada di antara mereka yang bisa
melakukannya dengan tangan kiri." Ia tersenyum sedih. "Aku mungkin
tidak muda lagi, tapi aku tahu kau pemain pedang yang berbakat dan
langka."
"Apakah
ini berarti kita tidak akan berlatih tanding lagi setiap malam?" tanya
Eragon.
"Oh,
kau tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan ini kata Brom sambil tertawa.
"Tapi kita akan mempermudahnya sekarang. Tidak masalah kalau kita tidak
melakukannya malam ini atau suatu malamnanti. Ia mengusap alis. "Yang
penting ingatlah, kalau kau pernah mengalami kesialan hingga bertempur melawan
elf terlatih atau tidak, pria atau wanita bersiaplah untuk kalah. Mereka,
bersama naga dan makhluk-makhluk sihir lain, puluhan kali lipat lebih kuat
daripada yang diinginkan alam. Bahkan elf yang paling lemah mampu mengalahkan
dirimu dengan mudah. Sama seperti Ra'zac, mereka bukan manusia dan jauh lebih
lambat dalam merasa lelah dibandingkan kita.
"Apakah
ada cara untuk menyamakan kekuatan dengan mereka?" tanya Eragon. Ia duduk
bersila di dekat Saphira.
Kau
beruntung dengan baik, kata Saphira. Eragon tersenyum.
Brom duduk
sambil mengangkat bahu. "Ada beberapa, tapi tidak satu pun tersedia bagimu
saat ini. Sihir akan memungkinkan dirimu mengalahkan semua musuhmu kecuali
musuh-musuh terkuatmu. Untuk menghadapi musuh-musuh terkuatmu kau membutuhkan
bantuan Saphira, ditambah keberuntungan yang sangat besar. Ingat, sewaktu
makhluk sihir benar-benar menggunakan sihir, mereka bisa melakukan
serangan-serangan yang bisa membunuh manusia, karena kemampuan mereka yang
lebih tinggi."
"Bagaimana
cara bertempur dengan sihir?" tanya Eragon.
"Maksudmu?"
"Well"
kata Eragon, sambil bertumpu ke salah satu siku. "Seandainya aku diserang
Shade. Bagaimana caraku memblokir sihirnya? Sebagian besar mantra langsung
bekerja, yang tidak memungkinkan lawan bereaksi tepat pada waktunya. Dan bahkan
kalau aku bisa bereaksi tepat pada waktunya, bagaimana aku bisa menetralkan
sihir lawan? Rasanya aku harus mengetahui niat musuhku sebelum ia
bertindak." Ia diam sejenak. "Aku hanya tidak bisa membayangkan
bagaimana melakukan itu. Bukankah siapa pun yang menyerang pertama akan
menang?"
Brom
mendesah. "Yang kau bicarakan itu duel 'penyihir', kalau kau mau
menyebutnya begitu-sangat berbahaya. Apakah kau tidak pernah merasa penasaran
bagaimana Galbatorix mampu mengalahkan semua Penunggang dengan bantuan hanya
sekitar selusin pengkhianat?"
"Aku
tidak pernah memikirkannya," Eragon mengakui.
"Ada
beberapa cara. Beberapa di antaranya akan kaupelajari kelak, tapi Yang terutama
adalah karena Galbatorix dulu, dan hingga sekarang, pakar dalam bidang
mendobrak masuk pikiran orang lain. Begini, dalam duel penyihir ada
aturan-aturannya yang ketat yang harus diperhatikan kedua petarung, karena
kalau tidak keduanya akan tewas. Sebagai awalan, tidak ada yang boleh
menggunakan sihir hingga salah satu peserta mampu memasuki pikiran peserta
lain."
Saphira
melilitkan ekornya dengan nyaman di tubuh Eragon dan bertanya, Kenapa menunggu?
Saat musuh menyadari kau menyerang, sudah terlambat baginya untuk bertindak.
Eragon mengulangi pertanyaan itu pada Brom.
Brom
menggeleng. "Tidak, tidak akan begitu. Kalau aku tiba-tiba menggunakan
kekuatanku padamu, Eragon, kau pasti tewas, tapi dalam sesaat yang singkat
sebelum kau hancur akan ada waktu untuk serangan balasan. Oleh karena itu
kecuali salah satu pihak yang bertempur memang ingin bunuh diri, tidak satu pun
yang akan menyerang sebelum salah satunya berhasil mendobrak pertahanan yang
lain."
"Lalu
apa yang terjadi?" tanya Eragon.
Brom
mengangkat bahu dan berkata, "Begitu kau berhasil memasuki pikiran
lawanmu, mudah sekali mengantisipasi apa yang akan dilakukannya dan
mencegahnya. Bahkan dengan keuntungan itu, masih terbuka kemungkinan untuk
kalah kalau kau tidak mengetahui cara menangkis mantra."
Ia mengisi
dan menyulut pipanya. "Dan itu membutuhkan pikiran yang luar biasa cepat.
Sebelum kau mampu mempertahankan diri, kau harus memahami dengan tepat sifat
kekuatan yang diarahkan padamu. Kalau kau diserang dengan panas, kau harus
mengetahui apakah panas itu dikirim kepadamu melalui udara, api, cahaya, atau
media lain. Barulah sesudah mengetahuinya, kau bisa melawan sihir itu dengan,
misalnya, membekukan material yang dipanaskan."
"Kedengarannya
sulit."
"Sangat,"
Brom mengiyakan. Asap mengepul dari pipanya: "Jarang sekali ada orang yang
berhasil selamat dari duel seperah dan seperti itu dalam waktu lebih dari
beberapa detik. Besarnya usaha dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu akan
menewaskan siapa pun yang menggunakannya tanpa latihan yang keras dan ketat.
Begitu kau mengalami kemajuan, aku akan mulai mengeluarkan metode-metode yang
diperlukan. Sementara itu, kalau kau pernah terpaksa melakukan duel penyihir,
kusarankan kau melarikan diri secepat mungkin. Demi keselamatanmu dan mengulur
waktu untuk mempelajari sebatas mana kemampuan musuhmu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar