Sabtu, 18 Januari 2014

Eragon 31



Eragon (Bab 31)
28 November 2013 pukul 20:19
AHLI PEDANG

Keesokan harinya lebih mudah bagi mereka berdua, Eragon merasa lebih baik dan mampu menjawab lebih banyak pertanyaan Brom dengan benar. Sesudah latihan yang sangat sulit, Eragon menyinggung mengenai scrying yang dilakukannya atas wanita itu. Brom menarik-narik janggutnya. "Katamu ia dipenjara?"
"Ya."
"Kau melihat wajahnya?" Brom bertanya penuh minat.
"Tidak terlalu jelas. Pencahayaannya buruk, tapi aku bisa mengetahui ia cantik. Aneh; aku tidak menemui masalah untuk memandang matanya. Dan ia memang melihat padaku."
Brom menggeleng. "Sepanjang yang kuketahui, mustahil bagi siapa pun untuk mengetahui ada yang melakukan scrying atas dirinya."
"Kau tahu siapa wanita tersebut?" tanya Eragon, terkejut mendengar, semangat dalam suaranya sendiri.
"Tidak juga," Brom mengakui. "Kalau didesak, kurasa aku bias-bisa mengajukan beberapa tebakan, tapi tidak satu pun jadi kemungkinan besar. Mimpimu ini aneh. Entah bagaimana kau berhasil melakukan scrying dalam tidurmu atas sesuatu yang belum pernah kaulihat tanpa mengucapkan kata-kata kekuatan. Mimpi sesekali bersentuhan dengan alam roh, tapi yang ini berbeda."
"Mungkin untuk memahaminya kita harus menggeledah setiap penjara dan sel bawah tanah hingga kita menemukan wanita ini," kata Eragon. Ia benar-benar menganggap pikiran itu gagasan bagus. Brom tertawa dan terus berjalan.
Latihan berat Brom mengisi nyaris setiap jam seiring berubahnya hari demi hari dengan lambat menjadi minggu. Karena beratnya pembalut lukanya, Eragon terpaksa menggunakan tangan kiri setiap kali mereka berlatih tanding. Dalam waktu singkat ia bisa berduel dengan tangan kiri sebaik dengan tangan kanan.
Saat mereka menyeberangi Spine dan tiba di dataran, musim semi mulai memasuki Alagaesia, menghadirkan berbagai jenis bunga. Pepohonan yang gundul sekarang tampak kemerahan dengan kuntum-kuntum, sementara pucuk rerumputan mulai menerobos di sela-sela batang lamanya yang mati. Burung-burung kembali dari kepergian mereka di musim dingin untuk kawin dan membangun sarang.
Para pengelana itu mengikuti Sungai Toark ke arah tenggara, di sepanjang tepi Spine. Sungai Toark semakin lama semakin besar seiring mengalirnya sungai-sungai kecil dari setiap sisi, memperbesar arus airnya yang menggelegak. Sewaktu sungai itu telah tiga mil lebih lebarnya, Brom menunjuk pulau-pulau endapan lumpur yang tampak di sungai. "Kita mendekati Danau Leona sekarang," katanya. "Kurang dari enam mil lagi."
"Menurutmu kita bisa tiba di sana sebelum malam?" tanya Eragon.
"Bisa dicoba."
Senja dalam waktu singkat menyebabkan jalan setapak sulit ditelusuri, tapi suara sungai di samping mereka membimbing mereka. Sewaktu bulan terbit, piringan yang terang itu memberikan cukup cahaya bagi mereka untuk melihat apa yang ada di depan.
Danau Leona tampak seperti sehelai perak tipis yang dihamparkan di tanah. Airnya begitu tenang dan rata hingga tidak tampak seperti cairan. Kalau tidak ada pantulan cahaya bulan di permukaannya danau itu tidak bisa dibedakan dari tanah.
Saphira berdiri di tepinya yang berkarang, mengepak-kepakkan sayap untuk mengeringkan karang-karang itu. Eragon menyapanya dan Saphira berkata, Airnya menyenangkan-dalam, sejuk, dan jernih.
Mungkin aku akan berenang besok, jawab Eragon. Mereka mendirikan kemah di bawah sekelompok pepohonan dan tidak lama kemudian tertidur.
Saat subuh, Eragon dengan penuh semangat bergegas keluar untuk melihat danau di bawah cahaya siang. Hamparan air yang luas dengan riak berpucuk putih tampak menyebar dalam, bentuk kipas di tempat angin menyapunya. Luasnya danau semata menyebabkan ia merasa gembira. Ia berteriak dan berlari ke air. Saphira, kau di mana? Ayo bersenang-senang!
Begitu Eragon naik ke punggungnya, Saphira melompat ke atas air. Mereka membubung, berputar-putar di atas danau, tapi bahkan pada ketinggian itu pantai seberang masih tidak terlihat. Kau mau mandi? tanya Eragon santai pada Saphira.
Saphira menyeringai jahat. Berpegangan! Ia mengunci sayap-sayapnya dan terjun ke air, menyentuh pucuk-pucuk ombak dengan cakar. Air tampak kemilau ditimpa cahaya matahari saat mereka terbang rendah di atasnya. Eragon kembali berteriak. Lalu Saphira melipat sayap-sayapnya dan terjun ke danau, kepala dan lehernya masuk lebih dulu bagai tombak.
Airnya menghantam Eragon seperti dinding es, menyentakkan napasnya dan nyaris melemparkannya dari punggung Saphira. Ia berpegangan erat-erat sementara Saphira berenang ke permukaan. Dengan tiga ayunan kaki, ia muncul di permukaan dan menghamburkan air ke langit. Eragon tersentak dan menggeleng-gelengkan kepala menyingkirkan air dari rambutnya, sementara Saphira berenang membelah danau, menggunakan ekor sebagai kemudi.
Siap? Eragon mengangguk dan menghelanapas dalam, mempererat pelukannya. Kali ini mereka masuk ke air dengan lembut. Mereka bisa melihat hingga ber-yard-yard jauhnya menembus cairan yang jernih itu. Saphira berputar dalam bentuk-bentuk yang fantastis, menyelinap di air seperti belut. Eragon merasa seperti menunggang ular laut dalam legenda.
Tepat saat paru-parunya menjerit minta udara, Saphira melengkungkan punggung dan mengarahkan kepala ke atas. Tetesan-tetesan air berhamburan mengelilingi mereka saat Saphira melompat ke udara, sayapnya tersentak membuka. 
Dengan dua kepakan yang kuat ia membubung.
Wow., Luar biasa, seru Eragon.
Ya, kata Saphira gembira. Walaupun sayang sekali kau tidak bisa menahan napas lebih lama.
Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya, kata
Eragon, sambil mengeringkan air dari rambutnya. Pakaiannya basah kuyup, dan angin dari sayap-sayap Saphira menyebabkan ia menggigil. Ia menarik-narik pembalut lukanya, pergelangan tangannya terasa gatal.
Begitu Eragon telah kering, ia dan Brom memasang pelana kuda-kuda dan berangkat mengitari Danau Leona dengan semangat tinggi sementara Saphira menyelam dan keluar lagi, bermain-main.
Sebelum makan malam, Eragon melindungi bilah Zar'roc sebagai persiapan latih tanding mereka seperti biasa. Baik ia maupun Brom tidak bergerak sementara mereka saling menunggu siapa yang menyerang lebih dulu. Eragon memeriksa sekitarnya, mencari-cari apa pun yang mungkin bisa menguntungkan dirinya. Sebatang ranting di dekat api menarik perhatiannya.
Eragon menyapu ke bawah, menyambar ranting itu, dan melemparkannya kepada Brom. Tapi pembalut luka membatasi gerakannya, dan Brom dengan mudah menghindari potongan kayu tersebut. Pria tua itu bergegas maju, mengayunkan pedang. Eragon merunduk tepat pada saatnya hingga pedang itu hanya mendesing di atas kepalanya. Ia menggeram dan menyerang Brom dengan buas.
Mereka bertarung hingga bergulingan di tanah, masing-masing berusaha berada di atas angin. Eragon berguling ke samping dan menyapukan Zar'roc di atas tanah, mengincar tulang kering Brom. Brom menangkis pukulan itu dengan tangkai pedang, lalu melompat bangkit. Berdiri sambil berputar, Eragon kembali menyerang, mengayun-ayunkan Zar'roc dalam serangkaian pola yang rumit. Bunga api menari-nari dari pedangng mereka saat beradu berulang kali. Brom menangkis setiap pukulan, wajahnya tampak tegang karena berkonsentrasi. Tapi Eragon bisa melihat Brom mulai kelelahan. Serangan tanpa henti yang dilakukannya terus berlanjut sementara masing-masing mencari celah dalam pertahanan lawan.
Lalu Eragon merasakan pertempuran berubah. Seiring setiap pukulan ia semakin di atas angin. Tangkisan Brom melambat dan ia kehilangan kekuatan. Eragon dengan mudah menangkis tusukan Brom. Pembuluh darah berdenyut-denyut di kening pria tua itu dan otot-otot bertonjolan di lehernya karena pengerahan tenaga.
Tiba-tiba percaya diri, Eragon mengayunkan Zar'roc lebih cepat daripada biasanya, menjalin jala-jala baja di sekitar pedang Brom. Dengan sentakan peningkatan kecepatan, ia menghantamkan sisi pedangnya ke pertahanan Brom dan menjatuhkan pedang Brom ke tanah. Sebelum orang tua tersebut sempat bereaksi, Eragon mengacungkan Zar'roc ke tenggorokannya.
Mereka berdiri terengah-engah, ujung pedang merah menempel pada tulang bahu Brom. Eragon perlahan-lahan menurunkan senjata dan mundur. Untuk pertama kalinya ia berhasil mengalahkan Brom tanpa mengandalkan tipuan. Brom mengambil pedang dan menyarungkannya. Sambil masih terengah-engah, ia berkata, "Kita selesai untuk hari ini."
"Tapi kita baru saja mulai," kata Eragon, terkejut.
Brom menggeleng. "Tidak ada lagi yang bisa kuajarkan padamu dalam hal pedang. Di antara semua pejuang yang pernah kuhadapi, hanya tiga di antaranya yang bisa mengalahkan diriku seperti tadi, dan aku ragu ada di antara mereka yang bisa melakukannya dengan tangan kiri." Ia tersenyum sedih. "Aku mungkin tidak muda lagi, tapi aku tahu kau pemain pedang yang berbakat dan langka."
"Apakah ini berarti kita tidak akan berlatih tanding lagi setiap malam?" tanya Eragon.
"Oh, kau tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan ini kata Brom sambil tertawa. "Tapi kita akan mempermudahnya sekarang. Tidak masalah kalau kita tidak melakukannya malam ini atau suatu malamnanti. Ia mengusap alis. "Yang penting ingatlah, kalau kau pernah mengalami kesialan hingga bertempur melawan elf terlatih atau tidak, pria atau wanita bersiaplah untuk kalah. Mereka, bersama naga dan makhluk-makhluk sihir lain, puluhan kali lipat lebih kuat daripada yang diinginkan alam. Bahkan elf yang paling lemah mampu mengalahkan dirimu dengan mudah. Sama seperti Ra'zac, mereka bukan manusia dan jauh lebih lambat dalam merasa lelah dibandingkan kita.
"Apakah ada cara untuk menyamakan kekuatan dengan mereka?" tanya Eragon. Ia duduk bersila di dekat Saphira.
Kau beruntung dengan baik, kata Saphira. Eragon tersenyum.
Brom duduk sambil mengangkat bahu. "Ada beberapa, tapi tidak satu pun tersedia bagimu saat ini. Sihir akan memungkinkan dirimu mengalahkan semua musuhmu kecuali musuh-musuh terkuatmu. Untuk menghadapi musuh-musuh terkuatmu kau membutuhkan bantuan Saphira, ditambah keberuntungan yang sangat besar. Ingat, sewaktu makhluk sihir benar-benar menggunakan sihir, mereka bisa melakukan serangan-serangan yang bisa membunuh manusia, karena kemampuan mereka yang lebih tinggi."
"Bagaimana cara bertempur dengan sihir?" tanya Eragon.
"Maksudmu?"
"Well" kata Eragon, sambil bertumpu ke salah satu siku. "Seandainya aku diserang Shade. Bagaimana caraku memblokir sihirnya? Sebagian besar mantra langsung bekerja, yang tidak memungkinkan lawan bereaksi tepat pada waktunya. Dan bahkan kalau aku bisa bereaksi tepat pada waktunya, bagaimana aku bisa menetralkan sihir lawan? Rasanya aku harus mengetahui niat musuhku sebelum ia bertindak." Ia diam sejenak. "Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana melakukan itu. Bukankah siapa pun yang menyerang pertama akan menang?"
Brom mendesah. "Yang kau bicarakan itu duel 'penyihir', kalau kau mau menyebutnya begitu-sangat berbahaya. Apakah kau tidak pernah merasa penasaran bagaimana Galbatorix mampu mengalahkan semua Penunggang dengan bantuan hanya sekitar selusin pengkhianat?"
"Aku tidak pernah memikirkannya," Eragon mengakui.
"Ada beberapa cara. Beberapa di antaranya akan kaupelajari kelak, tapi Yang terutama adalah karena Galbatorix dulu, dan hingga sekarang, pakar dalam bidang mendobrak masuk pikiran orang lain. Begini, dalam duel penyihir ada aturan-aturannya yang ketat yang harus diperhatikan kedua petarung, karena kalau tidak keduanya akan tewas. Sebagai awalan, tidak ada yang boleh menggunakan sihir hingga salah satu peserta mampu memasuki pikiran peserta lain."
Saphira melilitkan ekornya dengan nyaman di tubuh Eragon dan bertanya, Kenapa menunggu? Saat musuh menyadari kau menyerang, sudah terlambat baginya untuk bertindak. Eragon mengulangi pertanyaan itu pada Brom.
Brom menggeleng. "Tidak, tidak akan begitu. Kalau aku tiba-tiba menggunakan kekuatanku padamu, Eragon, kau pasti tewas, tapi dalam sesaat yang singkat sebelum kau hancur akan ada waktu untuk serangan balasan. Oleh karena itu kecuali salah satu pihak yang bertempur memang ingin bunuh diri, tidak satu pun yang akan menyerang sebelum salah satunya berhasil mendobrak pertahanan yang lain."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Eragon.
Brom mengangkat bahu dan berkata, "Begitu kau berhasil memasuki pikiran lawanmu, mudah sekali mengantisipasi apa yang akan dilakukannya dan mencegahnya. Bahkan dengan keuntungan itu, masih terbuka kemungkinan untuk kalah kalau kau tidak mengetahui cara menangkis mantra."
Ia mengisi dan menyulut pipanya. "Dan itu membutuhkan pikiran yang luar biasa cepat. Sebelum kau mampu mempertahankan diri, kau harus memahami dengan tepat sifat kekuatan yang diarahkan padamu. Kalau kau diserang dengan panas, kau harus mengetahui apakah panas itu dikirim kepadamu melalui udara, api, cahaya, atau media lain. Barulah sesudah mengetahuinya, kau bisa melawan sihir itu dengan, misalnya, membekukan material yang dipanaskan."
"Kedengarannya sulit."
"Sangat," Brom mengiyakan. Asap mengepul dari pipanya: "Jarang sekali ada orang yang berhasil selamat dari duel seperah dan seperti itu dalam waktu lebih dari beberapa detik. Besarnya usaha dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu akan menewaskan siapa pun yang menggunakannya tanpa latihan yang keras dan ketat. Begitu kau mengalami kemajuan, aku akan mulai mengeluarkan metode-metode yang diperlukan. Sementara itu, kalau kau pernah terpaksa melakukan duel penyihir, kusarankan kau melarikan diri secepat mungkin. Demi keselamatanmu dan mengulur waktu untuk mempelajari sebatas mana kemampuan musuhmu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar